Sabtu, 29 Oktober 2016

HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2016

Pada puncak acara Hari Santri Nasional 22 Oktober 2016 para santri di seluruh Tanah air antusias pada ikut upacara, termasuk santri ponpes Miftahussa'adah Samarang Boboko ikut andil dalam moment tersebut, mereka dengan suka rela berangkat ke lapang alun-alun Garut walau cukup jauh menempuh perjalanan. Mereka sadar, bahwa kita sebagai bangsa wajib mensyukuri kemerdekaan ini dengan memegang teguh jati diri bangsa jangan sampai terkoyak oleh kepentingan sesaat yang akhirnya akan memporak-porandakan sendi-sendi kebangsaan yang dengan susah payah telah diwariskan oleh para kyai dan santri dimasa silam.

























Disini Saya tambahkan amanat dari pengurus besar NU,

AMANAT
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
MENYAMBUT HARI SANTRI

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين اللهم صل وسلم على سيدنا  ومولانا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين.
أما بعد 

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan kita karunia Iman Islam, sehat jasmani dan rohani, serta keselamatan sehingga kita dapat dipertemukan dalam keberkahan dan kebersahajaan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, dengan harapan semoga kita semua mendapatkan syafa’at dari Baginda Rasulullah SAW.

Hari ini Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia memperingati sebuah peristiwa yang sangat penting dalam rangka mengenang jasa para ulama dan kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari rongrongan penjajahan. Penghormatan dan pengakuan negara atas jasa serta peran para ulama dan kaum santri ini termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang HARI SANTRI.

Sejarah mencatat bahwa para ulama dan santri telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju masyarakat adil dan makmur. Para santri dengan caranya masing-masing bergabung dengan seluruh elemen bangsa melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, mengajarkan tentang arti kemerdekaan, kedaulatan dan kebhinekaan bangsa Indonesia.

Hari ini, 71 tahun yang lalu, bangsa Indonesia hampir saja mengalami situasi pelik dan hampir tidak bisa melepaskan diri dari penjajahan.

Meletusnya pertempuran tanggal 26 Oktober hingga 9 Nopember 1945 di Surabaya antara rakyat sipil dengan tentara sekutu NICA, pemicu utamanya adalah fatwa RESOLUSI JIHAD NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh para ulama di bawah komando Rois Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yakni KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad NU adalah perintah lurus dari para alim ulama kepada umat Islam di sekitar pulau Jawa yang masuk pada radius masafatul qosr (مسافة القصر‬) dimana dihukumkan WAJIB bagi mereka untuk membela Tanah Air. Kewajiban membela tanah air artinya saat itu adalah perintah untuk melawan tentara sekutu NICA.

Ketika itu, ulama-ulama dari Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dipimpin langsung oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, dan diikuti tokoh-tokoh antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ahmad Hasan, Kiai Mas Abdurrahman, KH. Abdul Halim, dan banyak lagi. Rapat ini sempat tertunda sampai dengan datangnya ulama yang dikenal dengan julukan“Singa dari Jawa Barat” yakni KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon yang kemudian ditunjuk sebagai komandan LASKAR HIZBULLAH.

Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain KH. Abd. Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Cak Roeslan Abdulgani, KH. Mas Mansur, dan Cak Doel Arnowo. Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR.

Fakta sejarah perlawanan terhadap NICA yang berujung pada pertempuran sengit inilah yang kemudian kita kenal dengan peristiwa 10 Nopember. Kaum santri berhasil merobek bendera Merah Putih Biru yang diganti dengan bendera Merah Putih di atas Hotel Oranje Surabaya. Kaum santri berhasil merebut kembali keadaan dengan mengalahkan pasukan NICA yang dipimpin oleh Brigjen Mallaby. Tak kurang dari 20.000 santri gugur dalam pertempuran tersebut.

Atas peranannya yang begitu dahsyat, Sayyid Muhammad As’ad Shihab menyebutkan dalam salah satu karyanya bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah awwalu wadi’ labinati istiqlali Indonesia ( أول واضع لبينة استقلال اندونيسيا ), “Peletak dasar-dasar kemerdekaan Indonesia”.

Selang beberapa bulan setelah terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya, di mana sipil dan santri menjadi aktor utamanya, mata dunia perlahan mulai terbuka. Mereka mengakui fakta baru bahwa “Indonesia” adalah negara yang telah merdeka dan berdaulat.

Tanpa RESOLUSI JIHAD NU tentu tidak pernah ada peristiwa 10 Nopember. Tanpa RESOLUSI JIHAD NU, kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, tentu akan tercabik-cabik kembali oleh upaya pengambilalihan kedaulatan yang dimotori tentara NICA. Inilah wujud ajaran dari Hadratussyeikh yang meletakkan kewajiban bela negara adalah sama pentingnya dengan kewajiban membela agama. 

" حب الوطن من الإيمان",

Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman

Marilah kita jadikan momentum Hari Santri 22 Oktober ini untuk meneguhkan kesetiaan mengawal dan mempertahankan Pancasila, NKRI serta UUD 1945.

Membaca sejarah nasional tidak mungkin mengabaikan kaum santri yang telah teruji dalam mengawal negeri ini. Di tengah berbagai masalah yang mendera bangsa Indonesia saat ini, perlu kiranya seluruh elemen bangsa merenungi kiprah dan etos jihad kaum santri. Etos jihad kaum santri berdiri di atas tiga pilar, yaitu Nahdlatul Wathan (pilar kebangsaan), Tashwîrul Afkâr (pilar ke-cendekia-an), dan Nahdlatut Tujjâr(pilar kemandirian). 

Pilar kebangsaan perlu terus dipupuk dan dikembangkan di tengah tarikan faham fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Pilar ke-cendekia-an harus ditegakkan karena kecendekiaan adalah pilar peradaban dan syarat sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya di hadapan bangsa lain. Kecendekiaan tidak hanya diukur dari pendidikan formal tetapi mental dan nalar intelektual yang terbuka terhadap pemikiran dan inovasi baru, dengan berpedoman pada kaidah; al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah (Melestarikan tradisi lama yang baik dan menciptakan tradisi baru yang lebih baik). 

Khazanah intelektual Islam yang diakrabi pesantren merupakan modal intelektual tak ternilai yang menempatkan santri sebagai pewaris sah kebangkitan Islam masa depan. Inklusivisme kaum santri perlu dipupuk di tengah ketertinggalan umat Islam dalam penemuan-penemuan ilmiah dan inovasi sains dan teknologi. Jihad santri adalah memerangi kebodohan dan mengintegrasikan penguasaan ilmu duniawi dan ukhrawi. 

Pilar kemandirian adalah prasyarat mutlak maju-mundurnya sebuah bangsa. Tidak ada bangsa yang maju dengan tergantung kepada bangsa lain. Bangsa kita belum mandiri dalam memenuhi hajat hidup pokok warganya. Sebagian besar kebutuhan pangan dan energi diperoleh dari impor, padahal Indonesia negara agraris yang dikaruniai berbagai sumber daya alam di laut, hutan, dan di bawah permukaan bumi. Harus diingat, ketergantungan adalah antitesis kemerdekaan. 

Hari ini adalah saat terbaik bagi kita untuk dapat memaknai Hari Santri sesuai dengan perkembangan dan dinamika zaman yang berkembang. Tantangan yang kita hadapi hari ini meskipun berbeda, akan tetapi semangat dan integritas berbangsa dan bernegara tidak boleh terputus. Apalagi di tengah arus budaya popular dan juga silang sengkarut ideologi trans-nasional yang sudah sedemikian masif ini, penguatan nasionalisme dan patriotisme rakyat Indonesia sangat-sangat dibutuhkan.

Tantangan kita yang pertama, menghadapi berbagai ancaman seperti ideologi yang mengancam eksistensi kesatuan Republik Indonesia harus kita lawan. ISIS dan sekelompok organisasi yang menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai wahana untuk berdakwah, harus kita lawan. Sudah terlalu banyak negara yang hancur diakibatkan cara pandang yang keliru meletakkan makna jihad yang justru melahirkan kekacau-balauan. Demikian juga dengan segenap organisasi masyarakat yang anti serta menolak ideologi Pancasila, mereka juga harus kita luruskan. 

Nahdlatul Ulama senantiasa mengajarkan Islam menjadi pionir dalam mewujudkan perdamaian dunia. Nahdlatul Ulama senantiasa mengajarkan dakwah Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Islam yang mengajak bukan mengejek. Islam adalah agama yang mengajarkan kita dapat merangkul, bukan memukul.

Tantangan kedua, masih tingginya angka kemiskinan dan Gini Rasio kita yang menyebabkan adanya ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin, adalah masalah yang harus kita tuntaskan.

Pada Desember 2015, World Bank merilis bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 50,4% aset dan 10% orang terkaya Indonesia menguasai 70,3% total kekayaan di Indonesia. Artinya, pembangunan belum merata dan belum menyentuh rakyat miskin dan kaum lemah. Padahal Islam mengajarkan, ekonomi harus tumbuh atas azas keadilan dan pemerataan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr ayat 7; 

" كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ "

“Janganlah harta itu berputar-putar diantara orang-orang kaya saja diantara kalian”.

Tantangan ketiga adalah meluasnya penggunaan narkoba di seluruh kelas sosial masyarakat. Ini keprihatinan nasional kita. Negara tengah menghadapi Darurat Narkoba. Data menunjukkan sampai tahun 2016 jumlah pengguna Narkoba sebanyak 4 juta orang. 1,6 Juta pernah mencoba. 1,4 Juta orang rutin mengkonsumsi dan 943 ribu orang sudah dalam kondisi kecanduan. Data ini menunjukkan bahwa hari ini kita sedang mengalami DARURAT NARKOBA.

Maka dalam memperingati Hari Santri, tugas kita hari ini adalah:

1. Jihad melawan segala bentuk anarkisme, radikalisme dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila & NKRI.
2. Jihad memerangi kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan kita.
3. Jihad melawan narkoba, dan bersama-sama menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersih dari peredaran Narkoba.

Dalam momentum hari santri kali ini, yang paling utama dan penting untuk diteladani adalah bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah sosok kiai yang sepanjang hayatnya tetap mengindentifikasi dirinya sebagai santri. Sikap santri inilah yang melahirkan sikap tawaddu’ dan juga rendah hati di hadapan siapapun. 

Kita harus bersyukur memiliki seorang ulama yang bukan saja jernih melihat, namun juga cerdas bertindak, dan teguh dalam memegang prinsip. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tidak lahir kemudian menjadi tokoh begitu saja. Hadratussyeikh sebagaimana lazimnya manusia lainnya, digembleng melalui pendidikan agama yang penuh kedisiplinan dan ketaatan.

Hari Santri 22 Oktober adalah milik semua golongan. Maka dalam momentum peringatan Hari Santri 22 Oktober ini, marilah kita jadikan sebagai tonggak untuk bersatu, jangan sekali-kali kita berpecah belah. Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Mari kita songsong kehidupan yang lebih baik, yang maslahah untuk semua. Selamat Hari Santri.

شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, 22 Oktober 2016 

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,


Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA

http://www.nu.or.id/post/read/72230/amanat-pbnu-di-hari-santri-nasional-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar