170-172.
“BAGIAN NAFSU DALAM IBADAH”
٭ حظ النفس فى المعصية ظاهرٌجليٌّ، وحظها فى الطاعة باطن خفيٌّ ومدواة ما يخفى صعبٌ علاجهُ.٭
170. “ Bagiannya hawa nafsu dalam perbuatan maksiat itu sangat jelas dan terang, sedangkan bagian nafsu dalam perbuatan taat (ibadah) itu halus dan samar, untuk mengobati yang samar itu itu sangat sulit penyembuhannya.”
Ketahuilah bahwa hawa nafsu itu selalu ambil bagian/peran baik dalam maksiat atau dalam taat(ibadah). Kepentingan nafsu dalam maksiat itu jelas, sperti zina, minum-minuman keras, dia jelas merasakan enaknya dan kepuasannya. Karena nafsu mengajak maksiat itu tujuannya hanya ingin merasakan kenikmatan dan kepuasan dan ahirnya terjadi bencana dan kehinaan.
Sedangkan bagian nafsu dalam taat/ibadah, sangatlah halus dan samar untuk diketahui dan disadari. Karena dalam taat/ibadah itu nafsu akan merasa berat, karena semua ibadah itu selalu bertentangan dengan hawa nafsu. Jadi apabila nafsu memerintahkan untuk ibadah maka waspadalah! Dan telitilah apakah ada kepentingan nafsu didalam ibadah tersebut, taat dan ibadah seharusnya bertujuan mendekatkan diri kepada Alloh, tapi nafsu mempunyai kepentingan lain seperti Riya’(supaya dilihat/diketahui orang) bahwa dia orang yang ahli ibadah, yang selanjutnya orang lain memujinya, dan terkenal di kalangan manusia. Dan masih banyak contoh yang lain apabila kita mau meneliti pergerakan nafsu kita. Dari itu muallif (Syeih Ibnu ‘Ato’illah) dawuh :
٭ ربّما دخل الرياءُ عليك من حيث لاينظرالخلقُ اليكَ.٭
171. “Terkadang masuknya riya’ dalam amal perbuatanmu itu dari arah yang tidak ada orang yang melihat padamu.”
Riya’ yang masuk dalam amal perbuatan ketika didepan orang banyak itu dinamakan Riya’ jaliy (terang). Riya’ juga bisa masuk pada amal ketika sendirian, dan tidak ada orang yang mengetahuinya. Dan dengan amalnya itu dia berharap akan di sanjung orang, dimulyakan orang, seumpama dia berilmu, supaya orang lain mencukupi hak-haknya, dan apabila tidak dia berharap supaya orang lain disiksa oleh Alloh sebab tidak menghormati orang yang berilmu.apabila hal seperti ini ada dalam diri seseorang itu tandanya dia riya’dengan ilmunya, yang seperti ini dinamakan Riya’Khofiy(samar).
Dan tidak akan selamat dari Riya’ Jaliy dan Riya’ khofiy kecuali orang yang sudah Ma’rifat billah, dan kuat tauhidnya. karena Alloh sudah menjaganya dari syirik dan menutup pandangannya dari melihat makhluk sebab Nur keyakinan dan Nur ma’rifat yang sudah terang bersinar dalam hatinya. para Arifiin itu sudah tidak berharap dapat manfaat dari orang lain(makhluk), dan juga tidak takut bahaya dari makhluk. Dan amalnya para Arif itu bersih dari Riya’ walaupun di kerjakan didepan orang banyak.
Rosululloh bersabda: “ Syirik itu ada yang lebih samar dari jalannya semut hitam di atas batu hitam dimalam yang gelap gulita.” (dan riya’ itu termasuk syirik yang samar, yaitu beramal tidak karena Alloh)
Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra. berkata: Kelak dihari kiamat Alloh akan berkata kepada orang-orang yang zahid dan fakir,: tidakkah telah dimurahkan (diturunkan)harga barang-barang untuk kamu, tidakkah jika kamu berjalan lalu diberi salam terlebih dahulu, tidakkah jika kamu berhajat segera disampaikan (dibantu) semua hajatmu. Di dlam hadis lain diterangkan : Kini tidak ada lagi pahala bagimu, sebab semua pahalamu telah kamu terima semasa hidup didunia.
Syeih Yusuf bin Al-Husain Ar-rozy berkata: sesuatu yang amat berharga didunia ini ialah ikhlas, beberapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkan Riya’ dalam hatiku, tiba-tiba tumbuh lagi dengan lain corak (model).
٭ استشرافك ان يعلم الخلقُ بخصوصيّـتكَ ، دليل على عدم صدقك في عبوديّـتك.٭
172. “ Keinginanmu yang sangat untuk diketahui orang tentang sesuatu dari keistimewaanmu itu, sebagai bukti tidak adanya kejujuran (sungguh-sungguh)mu dalam kehambaanmu (shidqul ‘Ubudyyah).”
Yang dinamakan Sidqul ‘Ubudyyah yaitu: membuang segala sesuatu selain Alloh, dan tidak memandang pada selain Alloh dalam baribadah.
Jadi apabila kamu benar-benar beribadah kepada Alloh, pasti akan menerima perhatian dari Alloh kepadamu, sehingga kamu tidak senang diketahui orang lain dalam menghamba kepada Alloh.
Syeih Abu Abdulloh Al-Qurasyi berkata: siapa yang tidak puas dengan pendengaran dan penglihatan Alloh dalam amal perbuatannya, maka pasti dai kemasukan riya’.
Alloh berfirman: “Apakah engkau tidak merasa cukup dengan tuhanmu, bahwa Ia menyaksikan dan mengetahui segala sesuatu.” QS.Fus-shilat 53.
Syeih Abul-khoir Al-Aqtho’ berkata : Siapa yang ingin amalnya diketahui orang, maka itu riya’, dan siapa yang ingin diketahui orang hal keistimewaannya, maka itu pendusta.
Hikmah ini untuk pelajaran orang yang memulai perjalanan suluk(murid), tapi bagi orang yang sudah Arif dan hanya melihat sifat wahdaniyyahnya Alloh, antara tekenal dan tersembunyi itu sama saja. Seperti kata hikmah dari Syih Abul Abbas Al mursyi.
Syeih Abul Abbas Al-Mursyi berkata: Barang siapa yang ingin terkenal, maka ia budak(hamba)nya terkenal, dan siapa yang ingin tersembunyi, maka ia budak(hamba)nya tersembunyi, dan siapa yang benar-benar merasa sebagai hamba Alloh, maka terserah pada Alloh apakah dia diterkenalkan atau disembunyikan, yakni sama saja, yang penting beramal karena Alloh.
173.
“ AMAL JANGAN INGIN DILIHAT ORANG”
٭ غيّبْ نَظَرَالخلقِ اِليْكَ بِنَظَرِاللهِ اِليْكَ، وَغِبْ عَنْ اِقْبالهِمْ عَلَيْكَ بِشُهودِ اِقْبالِهِ عَلَيْكَ. ٭
173. “ Hilangkan pandangan makhluk kepadamu, karena puas dengan penglihatan Alloh kepadamu, dan hilangkan perhatian (menghadapnya) makhluk kepadamu, karena yakin bahwa Alloh menghadapimu.”
Sebagai murid jangan terpengruh dengan penglihatan , perhatian dan pujian orang lain, karena Alloh selalu melihat dan memperhatikan kamu. Sebagai gambaran: sebagai seorang murid ketika kita dilihat dan di awasi oleh guru kita, tentu kita lupa dan tidak memperhatikan kalau kita sedang dilihat dan diawasi oleh orang lain. Begitu juga ketika guru kita berada dihadapan kita, tentu kita tidak akan memperdulikan orang lain yang menghadap kita. Apalagi yang melihat, mengawasi dan menghadapi kita itu Alloh, tentunya semua makhluk tidak ada artinya.
Syeih Sahl bin Abdulloh At-Tustary berkata kepada kawan-kawannya: Seseorang tidak akan dapat mencapai hakikat kewalian sehingga menghilangkan pandangan orang dari fikirannya, sehingga tidak melihat apa-apa didunia ini, yang ada hanya ia dan Tuhan yang menciptakannya, sebab tidak ada seorangpun(makhluk) yang dapat menguntungkan tau merugikannya, dan menghilangkan perasaandiri danhawa nafsunya sehingga tidak menghiraukan orang, dan tidak segan atau takut kepada mereka, apa saja yang akan terjadi.
Syei Al-Harits Al-Muhasiby ra. Ketika ditanya tentang tanda orang yang ikhlas, yaitu: yang tidak menghiraukan dinilai apa saja oleh sesame manusia, asalkan ia sudah benar hubungannya dengan Alloh dan tidak ada orang yang mengetahui walau sekecil debu dari amal kebaikannya, dan tidak takut jika ada orang yang mengetahui perbuatannya yang tidak baik. Sebab jika ia takut diketahui kejelekannya, berarti ia ingin dipuji atau besar dalam pandangan orang, dan itu tidak termasuk kelakuan atau akhlak orang yang benar-benar ikhlas.
174-176.
“MAQOM MA’RIFAT, FANA’ DAN CINTA”
٭ مَنْ عَرَفَ الحَقَّ شَهِدهُ فِىْ كُلِّ شَىءٍ ٭
174. “Barang siapa yang benar-benar mengenal Alloh (berada dimaqom Ma’rifatulloh), pasti dapat melihatNya pada tiap segala sesuatu.”
٭ وَمَنْ فَنِيَ بِهِ غَابَ عَنْ كُلِّ شىءٍ ٭
175. “ Barang siapa yang fana’ sebab melihat Alloh (berada dimaqom Fana’), pasti ia lupa (ghoib) dari segala sesuatu.”
Jadi orang yang sudah berada di maqom fana’, mereka sudah tidak melihat apa yang ada di alam ini kecuali hanya Alloh, dan orang tersebut sudah lupa pada dirinya, tidak merasakan apa yang ada pada dirinya, mereka sudah tidak melihat sifat wujud dan nyata pada apa yang dilihat. Berbeda dengan orang yang berada dimaqom ma’rifat, mereka melihat makhluk dan juga melihat Alloh yang menciptakan makhluk, mereka dengan jelas melihat Alloh pada setiap perkara yang wujud(makhluk), jadi para arif itu masih merasa dirinya ada, dan masih melihat adanya makhluk.
٭ وَمَنْ اَحَبَّهُ لَمْ يُوءْ ثِـرعَلَيهِ شَيـءـاً ٭
176. “ Dan barang siapa yang cinta pada Alloh (berada di maqom Mahabbah), tidak akan mengutamakan sesuatu (dari kesenangan dirinya dan lainnya) mengalahkan Alloh.”
Jadi siapa saja yang mengaku cinta pada Alloh, tetapi masih memilih selain Alloh, dan mementingkan kepentingannya dan kepentingan selain Alloh,dan mengalahkan kepentingan pada Alloh, maka pengakuan cintanya itu bohong.
Jadi keterangan lain dari tiga hikmah ini : Siapa yang siapa yang benar-benar mengenal Alloh (Makrifat kepada Alloh), pasti ia selalu ingat pada Alloh, pada tiap sesuatu apapun yang aia lihat, ia dengar, dan ia rasakan. Sebab tidak ada sesuatu melainkan menunjukkan keindahan, kekuasaan dan buatan Alloh.
Dan orang yang sudah fana’kepada Alloh, mereka sungguh-sungguh yang diingat hanya Alloh, sehingga segala sesuatu yang dilihat dan yang ada didepannya,seolah-olah kosong dan hanya bayangan belaka.
Dan orang-orang yang benar-benar cinta kepada Alloh, ia tidak akan mengutamakan sesuatu apapun selain Alloh yang dicintainya, bahkan ia sanggup mengurbankan segala kepentingannya dan hawa nafsunya, demi mendapatkan keridhoan dari Alloh.
177-178.
“HIJABNYA MAKHLUK”
٭ إِنَّمَا حَجَبَ اْلحَقَّ عَنْكَ شِدَّةَُ قُرْبِهِ مِنْكَ. ٭
177. “ Sesungguhnya yang menghijab(menghalangi) engkau daripada melihat Alloh, itu karena sangat dekatnya Alloh kepadamu.”
Bisa di maklumi, bahwa panca indera manusia itu sangatlah terbatas, contohnya mata untuk bisa melihat, haruslah tepat pada ukurannya, terlalu jauh tidak akan kelihatan begitu juga terlalu dekat, juga tidak akan kelihatan. Seperti kalau kita baca tulisan yang kita dekatkan dan menempel pada mata tentu tidak akan bisa terbaca.
Begitu juga Alloh, kita tidak bisa melihat Alloh, karena terlalu dekatnya Alloh, Alloh meliputi kita dengan cara yang sangat sempurna.
Alloh berfirman : “Dan Aku lebih dekat (kepada mayyit) dari pada kamu semua, akan tetapi kamu semua tidak tahu”
Hikmah ini tidak bisa difahami dengan sempurna kecuali orang-orang yang mata hatinya sudah terbuka terang, yang bisa melihat pendhohiran Alloh pada makhluknya.
٭ إنَّمَا احْتَجَبَ لِشِدَّة ِظُهُرِهِ وَخَفِيَ عَنِ الاَبْصَارِ لِعَظِيمِ نُورِهِ. ٭
178. “ sesungguhnya terhijabnya Alloh dari penglihatanmu itu karena sangat jelas dan terangNya, dan samarnya Alloh dari penglihatanmu itu karena terlu besarnya sinar dan cahaya nurNya.”
Sebagaimana keterangan hikmah sebelumnya, tentang keterbatasan/kelemahan panca indera manusia yang tidak bisa melihat karena terlalu dekat, begitujuga tidak akan bisa melihat terlalu terang. Pada hakikatnya semua benda itu bisa terlihat karena adanya cahaya/nur, tanpa cahaya takkan bisa terlihat, begitu juga terlalu terangnya cahaya, matapun tidak akan kuat melihat karena terlalu sialau. Seperti contoh matahari, yang cahayanya paling terang dari cahay yang lain yang bisa dilihat mata, sebab dari kuatnya sinar mata hari, mata kita tidak mampu menembus/ melihat dzatnya matahari itu sendiri, sehingga kita bisa tahu matahari hanya lewat sinarnya saja, dan mata tidak kuat/bisa melihat hakikatnya matahari itu. Artinya: matahari itu tidak terhijab oleh dzatnya sendiri tapi cahayanyalah yang menghijab matahari itu. Begitu juga Alloh, itu tidak terhijab oleh dzatNya, tapi terhijab oleh makhluknya, sebab terlalu jelas,terang dan besar NurNya. Jadi yang menghijab sesuatu itu bukan dzatnya, tapi kelemahan kita yang menjadikan hijab itu sendiri.
Jadi hakikat/dzat itu tidak akan bisa dicapai dengan panca indera, tapi bisa dicpai dengan matahati yang terang.
Maka apabila engkau melihat dengan mata hatimu, tidak akan menemukan sesuatu yang terlukis pada benda-benda(makhluk) itu selain daripadaNya.
179-182.
“DO’A BUKAN PENYEBAB ALLOH MEMBERI”
٭ لا يَكُنْ طَلَبُكَ تَسَـبُّـبًا اِلى العَطَاءِ مِنْهُ فَيَقِلَّ فَهْمُكَ عَنْهُ وَاليَكُنْ طَلَبُكَ لاِظْهارِ العُبُودِ يَّةِ وَقياماً بِحُقُوقِ الرُّبُوبيَّةِ ٭
179. “ Jangan sampai do’a permintaanmu itu engkau jadikan alat/sebab untuk mencapai pemberian Alloh (jangan punya i’tiqod bahwa pemberian Alloh itu sebab do’amu), niscaya akan kurang pengertianmu(makrifatmu) kepada Alloh, tetapi hendaknya do’a permintaanmu itu semata-mata untuk menunjukkan kerendahan, kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap keTuhanannya Alloh.”
Alloh swt. Telah memerintahkan hambanya untuk berdo’a dan meminta kepadaNya, tujuan utamanya hanya supaya hamba benar-benar menunjukkan sifat fakir, hina dan bodohnya dihadapan Alloh, bukan untuk sebab/alat menghasilkan apa yang diminta.
Hikmah dan pemahaman ini bagi orang yang sudah Arif billah, yang mereka tidak pernah berhenti dan bosan meminta kepada Alloh, walaupun tidak diberikan apa yang diminta, bagi mereka antara diberi atau tidak itu sama saja, sehingga mereka selalu menjadi hamba Alloh dalam segala keadaan.
Syeih Abul Hasan As-Syadzily ra. Berkata: Janganlah yang menjadi tujuan dari do’amu itu tercapainya hajat kebutuhanmu, maka jika demikian berarti engkau terhijab dari Alloh, tetapi seharusnya tujuan do’a itu untuk munajat kepada Alloh, yang memeliharamu, menciptakan dirimu. Dan bala’ dan bencana yang memaksa engkau berdo’a kepada Alloh, itu lebih baik daripada menerima nikmat kesenangan yang melupakan kepada Alloh dan menjauhkan daripadaNya.
٭ كَيْفَ يَكُونُ طَلَبُكَ اللاَّحِقَُ سَبـبًا فى عَطَاءِـهِ السَّابِقِ ٭
180. “Bagaimana mungkin permintaanmu yang datang belakangan, itu bisa menjadi sebab pemberian Alloh yang telah ditetapkan dan diputuskan lebih dahulu.”
٭ جَلَّ حُكْمُ الاَزَلِ اَنْيُضَافَ اِلى الْعلَلِ ٭
181. “ Maha suci hukum(putusan) Alloh yang telah pasti dalam azal, jika disandarkan kepada sebab musabab(‘ilat).”
Sungguh tidak masuk akal kalau permintaan kita yang baru sekarang, itu menjadi sebab pemberian Alloh yang sudah lalu. Sesungguhnya keputusan Alloh dalam menentukan peraturan alam ini sudah ditentukan/tetapkan dalam zaman ‘azal sebelum adanya alam ini, dan termasuk juga segala kebutuhan hajat hidup semua makhluk termasuk kita manusia, artinya sebelum kita meminta sesungguhnya Alloh sudah menentukan apa yang diberikan kepada kita. Yakni Alloh sudah memberi sebelum kita meminta. Sebagai contoh kita tidak/belum pernah meminta hidup tapi Alloh sudah memberi kehidupan, sewaktu kita masih dalam alam kandungan sampai kita lahir, dan dimasa kanak-kanak, kita belum pernah meminta bahkan belum tahu caranya meminta hajat kebutuhan kita, Alloh sudah terlebih dahulu memberikan semua hajat kebutuhan kita sehingga kita bisa hidup sampai sekarang, dan itu sama berlaku seterusnya.
Karena itu jangan mengira seolah-olah Alloh lupa dengan hajat kebutuhanmu, sehingga kamu harus mengingatkan Alloh supaya memberikan hajat kebutuhanmu. Kalau memang demikian kepercayaanmu terhadap Alloh, berarti benar-benar engkau belum mengenal Alloh dalam sifat kesempurnaanNya.
Segala sesuatu yang terjadi dialam ini, semata-mata dari qudrat dan irodatnya Alloh secara mutlak, sehingga tidak disandarkan pada ‘ilat/sebab musabab (karena ini dan itu).
٭ عِنَايَـتـُهُ فِيْـكَ لالِشَْىءٍ مِنْكَ وَايْنَ كُنْتَ حِينَ وَاجَهَـتـْكَ عِنَـَايَتـُهُ وَقَا بَلَتـْكَ رِعَايَتـُهُ لَمْ يَكُنْ فِى اَزَلِهِ اِخلاََصُ اَعْماَلٍِ وَلاَ وُجُدُ اَحْوَالٍ بَلْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ الاَّ مَحْضُ الاِفْضال وَعَظيمُ النَّوّالِ ٭
182. “ Pemberian dan perhatian Alloh kepadamu itu bukan karena sesuatu yang keluar/muncul dari kamu(seperti do’a dan amal sholih), buktinya: dimanakah kamu ketika Alloh menetapkan karunianya kepadamu dizaman ‘azal? ( dizaman ‘azal kamu dimana? Kamu tidak ada, kamu juga tidak berbuat apa-apa), disaat itu(zaman ‘azal) tidak ada do’a atau amal yang ikhlas atau akhwal, bahkan tidak ada apa-apa ketika itu kecuali hanya semata-mata anugerah karunia dan pemberian Alloh yang agung.”
Alloh sudah melengkapi dan memenuhi hajat kebutuhan kita disaat kita sendiri belum mengerti apa saja kebutuhan kita, maka dari itu coba kita pikirkan dan perhatikan perhatian dan pemberian Alloh pada kita semenjak kita masih berupa air mani, sama sekali kita belum bisa berdo’a dan beramal, tetapi perlengkapan yang diberikan Alloh kepada kita tidak berkurang sedikitpun, dan selanjutnya hingga kita lahir, masa kanak-kanak, dewasa dan tua, karunia dan pemberian serta perhatian Alloh kepada kita tidak berubah. Dan semua itu tidak bersandar pada amal atau do’a kita. Tapi semata-mata kekuasaan dan kehendak Alloh yang mutlak.
183-184.
“KEINGINAN MENDAPATKAN SIRRUL ‘INAYAH”
٭ عَلِمَ اَنَّ الْعِبَادَ يَتَشَوَّقـُونَ اِلىَ ظُهُورِ سِـرِّالعِنَـَايَةِ فَقاَلَ :يَـخْتـَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَّـَشَـاءُ. وَعَلِمَ اَنّـَهُ لَوْ خَلاَّ هُمْ وَذَالكَ لَتَرَكُواالعملَ إعْتِمَادًا علىْ الاَزَلِ فَقاَلَ: إنَّ رَحْمَة َ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ المُحْسِنِيـْنَ ٭
183. “ Alloh telah mengetahui bahwa hamba-hamba ingin mendapat rahasia (kebesaran) karunia Alloh(sirrul ‘inayah), maka Alloh berfirman: “Alloh sendiri yang menentukan (menghususkan) rahmat dan karunia pada siapa yang dikehendaki” , dan Alloh mengetahui andaikan manusia dibiarkan (mengetahui rahasianya), mungkin mereka meninggalkan amal usaha karena berserah pada keputusan dizaman ‘azal, karena itu Alloh berfirman: “Sesungguhnya rahmat Alloh itu dekat pada orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Sir itu berarti: semua perkara yang ditutupi, karena itu sir dirahasiakan pada kita.
‘Inayah berarti: bersambungnya Irodah(kehendak Alloh) dengan berhasilnya Sir dimasa yang akan datang.
Berhubung Alloh mengetahui bahwa kita itu sangat menginginkan dapat mengetahia masadepan kita apa celaka apa bahagia, sehingga kita ingin tahu rahasia pemberian/karunia Alloh(sirrul ‘Inayah), lalu kita meminta dengan berdo’a dan beramal sholih, dan kita beri’tikat bahwa dengan do’a dan amal sholih itu bisa menarik sirrul ‘inayah, maka Alloh berfirman : “YAKHTAS-SHU BIROHMATIHII- MAN-YASYA’U( “Alloh sendiri yang menentukan (menghususkan) rahmat dan karunia pada siapa yang dikehendaki” Al-Baqarah: 105) untuk mencegah kita dan menghilangkan keinginan kita, karena Alloh sendiri lebih mengetahui dimana Ia meletakkan risalahNya.
Dan Alloh juga mengetahui bila para hamba dibiarkan mengetahui rahasia pertolonganNya, dan terus menerus melihat bahwa sirrul ‘inayah ‘azaliyyah itu khusus pada sebagian orang,yakni tidak umum, bisa jadi para hamba meninggalkan amal dan berdoa, karena mengandalkan pada keputusan dizaman ‘azal, (kalau dizaman ‘azal aku sudah ditetapkan menjadi orang yang dapat inayah dan menjadi orang khusus, pasti aku akan masuk surga, walaupun tidak beramal, jadi tidak perlu beramal, begitu pula sebaliknya). Karena itu Alloh menunjukkan tanda-tanda orang yang mendapatkan ‘inayah/karunia, yaitu orang-orang yang berbuat baik dan memperbaiki perbuatannya. Yakni bukan amal kebaikan itu yang menyebabkan datangnya inayah/karunia, ia hanya sebagai tanda adanya ‘inayah.
٭ إلى المشِيْـءَـةِ يَسْـتَـنِدُ كُلَّ شَىءٍ وَلاَ تَسْـتـنِدُ هِي الَى شَىءٍ ٭
184.“Segala sesuatu tergantung KehendakNya, bukan KehendakNya bergantung pada segala sesuatu.”
Segala yang ada ini muncul karena kehendak AzaliNya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun, pada munculnya keinginan para hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.
Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Swt, sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepadaNya.
Al-Wasithy mengatakan, sesungguhnya Allah Swt tidak mendekati si fakir karena kefakirannya, juga tidak menjauhi si kayak arena kekayaannya. Seluruh makhluk ini tidak memiliki pengaruh, baik sukses maupun gagal, bahkan seandainya dunia adan akhirat anda serahkan sepenuhnya kepada Allah, anda tetap tidak akan sampai kepada Allah Swt, dengan dunia dan akhirat anda. Allah mendekatkan mereka kepadaNya, bukan karena sebab atau faktor tertentu, dan Allah mejauhkan mereka dariNya, juga bukan karena faktor-faktor tertentu. Allah Swt, berfirman: “Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah baginya, maka ia tidak akan meraih cahaya itu.”
Namun, bila Allah Swt, menghendaki hambaNya untuk meraih anugerahNya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal sholeh serta ibadah yang benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yang mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yang sesungguhnya.
185-186.
“LEBIH UTAMA MANA ANTARA BERDO’A ATAU TIDAK”
٭ رُبّـَماَ دَلـَّهُمُ الاَدابُ علَى تَركِ الطلبِ اِعْتماداً على قِسـمتهِ واستغالا بذِكرِه عنْ مسـءـلتهِ ٭
185. “ Terkadang Alloh menunjukkan pada hambanya (para ‘Arif) adabnya seorang hamba untuk tidak meminta/berdo’a karena menyerah pada kebijaksanaan dan merasa puas dengan pembagian dari Alloh, dan terlalu sibuk berdzikir sehingga tidak sempat minta-minta”.
Ada sebagian ‘Arifin yang mereka terkadang terpaksa untuk tidak meminta, dan menyerah pada Alloh dan hanya mengandalkan pembagian yang sudah ditetapkan Alloh dizaman ‘azal.
Para ulama ada yang berbeda pendapat tentang lebih utama mana antara meminta/berdo’a atau diam/tidak meminta.
Ada yang berpendapat: lebih utama berdo’a, karena berdo’a itu bagian dari ibadah, dan mengerjakan perkara yang disebut ibadah itu lebih utama daripada meninggalkannya.
Sebagian berpendapat : diam dan tidak berdo’a dan merasa puas dan ridho dengan berlakunya hukum (qodho’) itu lebih sempurna dan diridhoi, karena sesuatu yang sudah dipilihkan Alloh untuk kita itu lebih itu lebih utama daripada pilihan kita. Dalam hidist qudsi Alloh berfirman : barang siapa tersikkan dzikir kepadaKu dan meninggalkan meminta kepadaKu, Aku akan memberi yang terbaik dari apa yang Aku berikan pada orang yang meminta.
Dan ada yang berpendapat: waktu itu berbeda-beda, adakalanya lebih utama berdo’a dan adakalanya lebih baik diam, sebagaimana yang dikatakan Syeih Abul-Qosim Al-Qusyairi ra.
Apabila hati lebih condong kepada do’a, maka lebih baik berdo’a, dan apabila hati lebih condong diam, maka diam dan tidak berdo’a lebih baik,. Apabila hati lebih condong kepada ridho, dan puas dengan pembagian dan pilihan dari Alloh, dan lebih memperbanyak dzikir itulah adab tatakrama yang utama.
٭ إنّـَما يُذَكَّرُ من يجُوزُ لهُ الاِغْـفالُ وإنّـَما ينبـَّهُ من يُمْكنُ لهُ الاِهمالُ ٭
186. “ Sesungguhnya yang harus diingatkan itu hanya orang yang mungkin lupa, dan yang harus ditegur itu hana orang yang mungkin teledor(sembrono)”.
Apakah mungkin Alloh itu lupa? Kok harus dingingatkan dengan meminta, Dan apakah mungkin Alloh itu teledor, sehingga tidak memperhatikan hambanya? Itu tidak mungkin, dan itu muhal bagi Alloh. Maka bagi para ‘Arif meninggalkan meminta itu bagian dari adab tatakrama kepada alloh.
Syeih Abu Bakar Al-Wasithi ra. Ketika diminta mendo’akan muridnya, lalu ia berkata: Saya kuatir kalau saya berdo’a, lalu ditanyakan kepadaku begini: kalau kamu meminta kepadaKu (Alloh) apa yang menjadi hakmu, berarti engkau curiga kepadaKu, dan bila kau meminta apa yang bukan menjadi hakmu, berarti engkau telah menyalahgunakan kewajibanmu untuk memuji kepadaKu, dan bila kau ridho maka Aku akan menjalankan padamu apa yang sudah Aku tetapkan pada masa yang sudah lalu(zaman ‘Azal).
Syeih Abdulloh bin Munazil berkata: sejak lima puluh tahun saya tidak pernah berdo’a meminta kepada alloh, juga tidak ingin di do’akan oleh oranglain. Sebab segala sesuatu berjalan menurut apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dizman ‘azal, dan saya sudah merasa puas dengan itu.
187-191.
“HARI RAYANYA MURID”
٭ وُرُوْدُالفـَاقَةِ اعْيادُ المُريدِين ٭
187. “Datangnya kefakiran/kesulitan itu sebagai hari rayanya murid (orang yang sedang melatih diri untuk taqorrub kepada Alloh).”
Seorang murid itu ketika kedatangan kesulitan, kefakiran, bala’, sehingga merasa rendah diri dihadapan Alloh, itu adalah saat yang terbaik untuk mendapat belas kasih Alloh, dan mempercepat tercapainya tujuan yaitu taqorrub kepada Alloh. Sebagaimana diterangkan pada hikmah yang lalu bahwa dengan kefakiran nafsu tidak dapat bagian apa-apa, yakni dengan kefakiran itu sebagai kemenangan melawan hawa nafsu, sehingga saat yang demikian itu sebagai hari raya yang sangat menggembirakan, sebab tunduknya hawa nafsu, hilangnya rasa kesombongan,ujub atau besar diri.
٭ رُبّما وَجَدْتَ من المزيدِ فى الفاقةِ مالاتَجِدُهُ فى الصلاةِ والصَّوْمِ ٭
188. “ Terkadang pada saat kefakiran itu engkau bisa mendapatkan kelebihan karunia dan kebesaran dari Alloh, yang tidak bisa engkau dapatkan dengan puasa dan sholat.”
Itu bisa terjadi sebab puasa dan sholat terkadang karena kesenangan dan kepentingan hawa nafsu,sehingga ibadahnya tidak bisa selamat dari afatnya ibadah seperti riya’, takabbur, ujub dan lain-lain. Berbeda ketika dalam kondisi fakir, akan hilang kesenangan dan kepentingan hawa nafsu. Dan lagi hikmah ini bisa di artikan bahwa datangnya kefakiran, bala’ itu sebagai nikmat batin (samar).
٭ الفاقَاتُ بُسُطُ المَوَاهبِ ٭
189. “ Berbagai macam ujian bala’(kefakiran dan kekurangan)itu, bagaikan hamparan (lemek) untuk hidangan pemberian dan karunia dari Alloh.”
Dengan datangnya kefakiran, hakikatnya Alloh mendudukkan kamu dihadapanNya, dan cukuplah bagi kamu apa yang ada dari macam-macam anugerah dari Alloh.
Dan lagi apabila Alloh akan memberi anugerah yang besar kepada hamba, akan tetapi amal ibadah lahiryahnya tidak mencukupi sebagai tebusan karunia alloh, maka Alloh menguji padanya dengan bala’ sebagai tebusan berbagai dosa, kemudian diberikannya anugerah karunia dari Alloh.
٭ اذااَرَدْتَ وُرُودَالمَوَاهِبِ عَليكَ صَحِّح الفَقْرَ والفَاقَة َ لديْكَ "انّماَ الصّدقاتُ لِلفُقرَاءِ" ٭
190. “Jika engkau ingin datangnya macam-macam karunia dari Alloh kepadamu, maka bersungguh-sungguhlah dalam mengakui dan membuktikan kefakiran dan sangat berhajatmu kepada Alloh. Firman Alloh: Sesungguhnya yang berhak menerima pemberian(shodaqoh) itu hanyalah mereka yang benar-benar fakir.”
٭ تحَقـَّقْ بِأوْصافِكَ يُمِدَّكَ بِأوْصافهِ، تحَقـَّقْ بذٰلِكَ يُمدَّكَ بعِزِّهِ، تحَقـَّقْ بِعَجْزِكَ يُمدَّكَ بقُدْرَاتهِ، تحَقـَّقْ بضُعفِكَ يمدَّكَ بِحَولهِ وَقوَّتهِ ٭
191. “Buktikan dengan benar sifat-sifatmu, niscaya Alloh membantumu dengan sifat Nya, Buktikan dengan benar sifat kehinaanmu, niscaya Alloh membantumu dengan sifat kemuliaanNya, Buktikan dengan benar sifat kekuranganmu, niscaya Alloh membantumu dengan sifat kekuasaanNya, Buktikan dengan benar sifat kelemahanmu, niscaya Alloh membantumu dengan sifat kekuatanNya.”
Kedua hikmah ini mengajarkan kepada kita supaya menempati posisi kita yang semestinya, yaitu sebagai hamba, yang mempunyai sifat asli yaitu: fakir, kurang lemah, hina, dan bodoh. Apabila kita mengakui dan memposisikan diri sebagai hamba, niscaya Alloh akan menolong kita, memberi kemudahan dan karuniaNya kepada kita. Dan ketika Alloh memberikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan dan kekuatan, kita akan sadar dan merasa bahwa itu semua dari Alloh, bukan dari diri sendiri, dan bukan dari lain-lainnya Alloh.itulah tauhid yang murni, yang tidak ada Tuhan, tidak ada daya kekuatan, melainkan Alloh, dan semata-mata bantuan dan pertolonganNya, tanpa ada perantara dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Sebaliknya apabila kita tidak mau menempati kedudukan kita sebagai hamba, dan lupa akan sifat kehambaan, yang akan menjadikan murka Alloh, dan menyaingi sifat-sifat Alloh.
192.
“HAKIKATNYA KAROMAH”
٭ رُبَّما رُزِقَ الكرَامة َمن لم تَكـْمُلْ لهُ الاِسْتِقَامةُ ٭ ُ
192. “Terkadang Alloh memberikan karomah (keistimewaan) kepada seseorang yang belum sempurna istiqomahnya.”
Seorang murid sebaiknya tidak mengharapkan karomah, dan tidak tertipu dengan munculnya karomah pada dirinya. Karena keistimewaan yang diberikan pada murid yang belum sempurna istiqomahnya, bisa jadi hanya berupa ma’unah, atau bahkan istidroj. Karena hakikat karomah itu ialah Istiqomah. Dan kesempurnaan istiqomah itu ada pada dua perkara yaitu: sungguh-sungguhnya iman, dan benar-benar mengikuti apa yang di ajarkan Rosululloh saw. Secara lahir batin.
Syeih Abul Hasan As-Syadzily ra. berkata: Tiap kekramatan yang tidak disertai keridhoan terhadap Alloh, berarti orang itu tertipu dan akan binasa.
Syeih Abul Abbas Al-Mursy ra. berkata: Bukannya kebesaran(karomah) itu bagi orang yang bisa melipat dunia ini sehingga dalam satu detik bisa sampai ke makkah dan negara lain-lain. Tetapai kebesaran itu ialah orang yang dilipatkan baginya sifat-sifat hawa nafsunya, sehingga ia langsung disisi Tuhannya.
Syeih Sahl bin Abdulloh ra. Berkata: Sebesar-besar karomah yaitu berubahnya akhlaq yang jelek menjadi akhlaq yang baik. Dan ada yang mengatakan : kamu jangan heran dari seseorang yang tidak menaruh apa-apa dalam sakunya, tetapi ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam sakunya dan mendapat apa yang di inginkan. Tapi kamu boleh heran dari seorang yang menaruh apa-apa dalam sakunya, ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam sakudan tidak mendapat apa-apa, dan tidak berubah imannya kepada Alloh.
Syeih Abu Yazid Al-Busthomy ra. Berkata: Andaikata ada orang berjalan diatas air, atau duduk diudara, maka jangan kau tertipu olehnya sehingga kau perhatikan ia, bagaimana terhadap perintah dan larangan Alloh dan Rosululloh. Sebab setan dapat bergerak dari timur kebarat dalam sekejap mata, dan dia tetap dilaknat(terkutuk).
193.
“TANDA-TANDA KEDUDUKAN/MAQOM”
٭ من عَلاَماتِ اِقَاَمةِ الحقّ ِلكَ فِي شيءٍاقامتهُ اِيَّكَ فيهِ مع حُصُول النَّتـَاءـجِ ٭
193. “Suatu tanda bahwa Alloh telah menempatkan engkau pada suatu maqom(kedudukan), bila engkau dalam kedudukan itu bisa mendapatkan hasil/ buahnya.”
Sebagaimana sudah dijelaskan pada hikmah kedua tentang maqom Tajrid dan maqom kasab, hikmah ini kembali meneragkan tentang tanda-tanda orang yang berada di salah satu maqom tersebut, Tanda orang yang dimaqom Tajrid yaitu:
Apabila Alloh memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban. Tanda orang yang berada di maqom kasab yaitu:
Apabila Alloh memudahkan kamu dalam usaha/bekerja mencari maisyah, dan dalam bekerja itu bisa selamat agamamu(ibadahmu).
194-202.
“RAHASIA MENGAJAR,MEMBERI NASIHAT KEBAIKAN”
٭ من عَبَّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبَّرَ مِن بِساطِاِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذاأساءَ ٭
194. “Barang siapa menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa keterangannya itu muncul dari kebaikan dirinya, maka dia akan terdiam jika berbuat salah/maksiat, dan siapa yang menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa ilmu/keterangannya itu pemberian Alloh padanya, maka ia tidak akan diam bila ia berbuat salah/dosa.”
Hikmah ini menerangkan tentang orang yang mengajar/memberi nasihat tentang kebaikan dengan merasa bahwa dirinya sudah baik, dan merasa bahwa keterangannya itu hasil dari kebaikannya sendiri(yakni dia masih memandang dirinya sendiri), maka bila suatu saat dia tergelincir dalam dosa, dia akan merasa malu untuk memberi nasihat/mengajar orang lain, akan tetapi bila ia ketika memberi nasihat/mengajarkan ilmu pada orang lain itu hanya memandang bahwa ilmunya itu karunia dari Alloh, ia tidak memandang dirinya, maka dia tidak merasa malu untuk menerangkan ilmu/memberi nasihat jika suatu saat ia tergelincir dalam dosa. Sebab berbuat kebaikan itu hanya semata-mata karunia dari Alloh.
Syeih Abul-Abbas Al-Mursy ra. Berkata: Manusia itu terbagi menjadi tiga golongan. Pertama : golongan yang selalu memperhatikan apa-apa yang dari dirinya kepada Alloh. kedua : Golongan yang selalu hanya ingat pemberian dan karunia dari Alloh kepda dirinya. Ketiga : Golongan yang hanya memandang bhwa semua dari Alloh kembali pada Alloh.
Golongan pertama : selalu memikirkan kekurangan diri dalam menunaikan kewajibannya, sehingga selalu berduka cita.
Golongan kedua : selalu melihat semua itu adalah karunia dari Alloh, maka ia selalu gembira.
Dan golongan ketiga : Telah lupa pada dirinya sendiri, hanya teringat bahwa semuanya berasal dari Alloh dan akan kembali kepada Alloh, maka semua terserah Alloh.
Syeih Abul Hasan As-Syadzily ra. Berkata : Pada suatu malam saya membaca surat Qul-a’udzu birobbinnas hingga akhir surat. Tiba-tiba terasa bagiku bahwa : Syarril was-waasil-khonnaas, yang berbisik dalam hati itu ialah yang menyusup antara kau dengan Alloh, untuk melupakan engkau dari karunia-karunia Alloh, yang halus dan samar, dan mengingatkan engkau pada perbuatan-perbuatanmu yang jahat/dosa. Tujuannya untuk membelokkan engkau dari khusnud-dhon kepada su’udh-dhon terhadap Alloh. Maka waspadalah. Beliau juga berkata : Seorang ‘Aarif itu ialah seorang yang telah mengetahui rahasia-rahasia karunia Alloh didalam berbagai macam ujian bala’ yang menimpanya sehari-hari. Danjuga menyadari/mengakui kesalahan-kesalahanny didalam lingkungan belas kasih Allohkepadanya. Beliau berkata lagi : Sedikitnya amal dengan mengkui karunia Alloh, itu lebih baik dari banyaknya amal dengan merasa kekurangan diri sendiri. Yakni seolah-olah mempunyai kekuatan sendiri untuk bikin baik, hanya sekarang belum baik, sehingga ia selalu berduka cita memikirkan bagaimana ia dapatnya lebih baik. Padahal seharusnya ia menyerah dan hanya meminta kepada Alloh saja. sebab jika Alloh belum memberi maka tetap tidak ada perubahan pada dirinya, berdasarkan pengertian ayat :
وَمنْ يَتَوكـَّلْ عَلى اللهِ فـَهُوَ حَسْبُهُ
(Dan siapa yang berserah diri kepada Alloh, maka Alloh sendiri yang akan mencukupi/ melengkapi kekurangannya.) لاحَوْل ولاقُوَّة َالا بِاللهِ
dan tiada daya upaya atau kekuatan , kecuali atas bantuan dan pertolongan Alloh.
٭ تـَسبِقُ اَنْوارُ الحُكمَاءِ اَقْوَالهُمْ فحَيْثُ صَارَالتَنْويْرُ وَصـلَ التّـَعْبيْرُ ٭
195. “Nur ulama’ ahli hikmah(makrifat) itu selalu mendahului perkataan mereka, karena itu apabila sudah mendapat penerangan dari nur dalam hatinya, maka sampailah keterangan yang dikatakan mereka itu.”
Ulama’ ahli hikmah(ahli makrifat) itu bila memberikan nasihat/keterangan akan bisa diterima oleh hati orasng yang mendengarkan,sebagaimana tanah yang tandus dan mati yang disirami dengan air hujan yang lebat, lalu orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari nasihatnya, itu semua dikarenakan mereka (‘arifiin) selalu berhubungan dengan Alloh, dan minta taufiq dan hidayah dari Alloh, dan hanya Alloh yang mengatur kalimat yang keluar dari perkataannya, dan Alloh yang mengatur pendengaran orang yang mendengarkan.
Rosululloh bersabda : رأ ْسُ الحِكمةِ مَخافَةاللهِ
pokok dari segala hikmah itu ialah takut kepada Alloh.
Ulama’ yang tidak takut kepada Alloh, adalah ulama’ suu’ (penipu ummat). Siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah imannya, maka tidak bertambah dekatnya kepada Alloh, bahkan bertambah jauh.
Alloh berfirman : إ ِنَّماَ يَخْشىَ اللهَ مِنْ عِباَدهِ العُلماءُ (Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Alloh hanyalah para ulama’).
٭ كُـلُّ كلاَمٍ يَبْرُزُ وَعَليْهِ كِسْوَةُ القَلبِ الذى مِنْهُ بَرَزَ ٭
196. “ Setiap perkataan yang keluar itu pasti membawa corak bentuk hati yang mengeluarkannya.”
Jadi apabila hati bersinar nurnya makaperkataannya pasti membawa nur juga,sehingga bisa diterima oleh hati orang yang mendengarkannya, berbeda orang yang hanya mengaku-aku (ahli hikmah), perkataan yang keluar itu membawa kegelapan, yakni tidak bisa di ambil manfaatnya (masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri).
Dan lagi tiap-tiap tempat (wadah) itu pasti akan mengeluarkan yang terisi didalamnya,sebagai contoh :gelas atau lainnya yang terisi kopi, itu pasti yang dikeluarkan juga kopi, tidak mungkin air putih.
Ada seorang yang berkata : Mengapa sekarang hati oranr-orang tidak bisa khusyu’ dan matanya tidak bisa mencucurkan air mata. Maka di jawab oleh Syeih Muhammad bin Wasi’ : kemungkinan yang demikian itu penyebabnya dari kamu sendiri, sebab bila nasihat itu keluar dari hati yang ikhlas pasti masuk kedalam hati juga. Sebaliknya kalau hanya berupa kata-kata dilidah dan fantasi belaka, maka ia akan masuk telinnga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
Syeih Abul Abbas Al-Mursy ra. Berkata: keadaan hamba itu hanya ada empat macam : Nikmat, bala’, taat, maksiat. Maka jika didalam nikmat kewajiban hamba bersyukur kepada Alloh, dan jika menerima bala’ maka hamba harus bersabar, dan jika dapat melakukan taat harus merasa itu taufiq dan hidayah dari Alloh, dan bila tergelincir dalam dosa/ maksiat maka harus meminta ampun(beristighfar).
٭ منْ اُذ ِنَ لهُ فى التَّعْبيرِفُهمَتْ فـِىمسَامعِ الخَلقْ العِبارَتـُهُ وجُلِّيَتْ اِليهمْ اِشارَتُهُ ٭
197. “Barang siapa sudah mendapat izin dari Alloh untuk mengajar (menerangkan ilmu makrifat), maka keterangannya itu bisa difahami oleh pendengarnya, dan isyarat petunjuknya bisa diterima dengan jelas.”
Maksud dari orang yang sudah mendapat izin dari Alloh yaitu : orang yang mengajar/memberi nasihat itu Lillahi (karena Alloh) wa Billahi (dan sebab bantuan/pertolongan Alloh, wa Fillahi(dalam tuntunan hukum Alloh).
Syeih Junaidy Al-Baghdady ra. Berkata : Kalimat/perkataan yang benar itu hanya yang diucapkan setelah mendapat izin, sebagaimana firman Alloh :لاَيَتَكَـلمُونَ إلاَّ من اَذِنَ لَهُ الرّ َحمٰنُ وَقَالَ صَواَباً “ Mereka tidak berkata-kata, kecuali yang diizinkan oleh Ar-Rohman (Alloh) dan berkata dengan benar”.
Syeih Hamdun bin Ahmad bin Umaroh Al-qosshor ketika ditanya: Mengapa kata-kata orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini? Jawabnya : Karena mereka bicara /berkata untuk kemuliaan islam, dan keselamatan jiwa dan untuk mendapat keridhoan Alloh. Sedangkan kita bicara untuk kemuliaan diri, dan mencari dunia, dan keridhoan penerima/pendengar (makhluk).
٭ رُبَّماَ بَرَزَتِ الحَقَاءِـقُ مَكْسُوفََة َالاَنْوَارِ اِذاَلَمْ يُوءْذَنْ لكَ فِيهاَ بِالاِظهارِ ٭
198. “ Terkadang ilmu hakikat itu tampak pudar /suram cahayanya jika engkau belum mendapat izin untuk mengeluarkan/ menerangkannya.”
Yang dimaksud ilmu hakikat disini yaitu ilmu yang berhubungan makrifatulloh.
Barang siapa yang belum sempurna sifat-sifatnya, dan belum mendapat izin untuk menerangkan Hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena keluar dari lisan yang masih tertutupi kegelapan yaitu selain Alloh. Dan ia sendiri masih diliputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu, yang akibatnya orang yang mendengarkan tidak faham dan bahkan yang mendengar akan ingkar dan menolak.
Syeih Abul Abbas al-Mursy ra. Berkata : Seorang Wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu dan pemahamn ma’rifat, sehingga Hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika mengeluarkan kalimat/perkataan seolah-olah mendapat izin dariAlloh, dan kalimat/perkataan yang dikeluarkannya itu berhias keindahan yang bukan buatan, maka langsung diterima oleh pendengarnya.
٭ عِبَارَتـُهمْ إمّاَلِفَيَضَانِ وُجْدٍ اَوْ لِقَصْدِ هِدَايَةِ مُرِيدٍ فالاوَّلُ حالُ السَّالِكِينَ والثانِى حالُ اَرْبابِ المِكْنةِ وَالمُحققينَ. ٭
199. “Kata-kata/keterangan orang yang menerangkan (ilmu makrifat), itu ada kalanya muncul karena luapan perasaan dalam hatinya yang tidak dapat ditahan, atau karena tujuan memberi petunjuk pada murid. Yang pertama itu hal keadaan seorang salik, sedang yang kedua hal keadaan orang yang sudah matang dan mendalam dalam makrifatnya kepada Alloh (ahli tahqiq).”
Jika seorang salik (berjalan menuju Alloh), itu berkata-kata/ menerangkan ilmu makrifat, yang bukan karena luapan apa yang dirasakan dalam hatinya, berarti ia hanya merupakan pengakuan yang palsu belaka, demikian pula orang yang mendalam ilmu makrifatnya (arbabul miknah),jika bicara tidak untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yang tidak diizinkan. Yang seharusnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab terhadap Alloh.
٭ العِبَاراتُ قُوْتٌ لعَا ءـلةِ المُسْتَمِعِيْنَ، ليْسَ لكَ الاَّ ماَ انْتَ لهُ اٰ كِلٌ ٭
200. “Keterangan (kata-kata yang berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yang mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa-apa kecuali apa yang engkau makan.”
Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam(berbeda-beda), dan makanan yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yang lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yang berguna bagi tiap-tiap orang itu hanya yang dimakan. Begitu juga makanan yang bangsa maknawi, yang difahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yang disampaikan kepada orang banyak/jamaah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yang lainnya, itu karena berbeda tujuannya.
Syeih Muhyiddin Muhammad Ibnu ‘Aroby ra. Berkata : Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di mesir, dan disitu bertemu dengan guru-guru, dan setelah hidangan dikeluarkan, disitu ada satu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang-orang makan tiba-tiba wadah itu berkata : Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Alloh untuk tempat makanan guru-guru ini maka mulai saat ini aku tidak rela dipakai tempat kotoran. Kemudian ia terbelah menjadi dua. Syeih Muhyidin bertanya kepada hadirin semua : apakah kalian semua telah mendengar? Jawab mereka : ya, kami mendengar ia berkata : sejak aku dipakai tempat makanan guru-guru, maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi. Syeih Muhyidin berkata : Tidak begitu katanya. Para hadirin bertanya : lalu ia berkata apa ? jawab Syeih Muhyidin : Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Alloh dijadikan tempat Iman, maka janganlah rela ditempati najis-najis, syirik, maksiat dan cinta dunia.
٭ رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ المَقَامِ مَنِاسْـتَشْرَفَ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا عَبّـرَ عَنْهُ منْ وَصَلَ اِليهِ وَذٰلكَ مُلتَبِسٌ الاَّ على صاحِبِ بَصيْرَةٍ ٭
201. “ Terkadang orang yang menerangkan satu maqom (tingkat dalam kemakrifatan) itu orang yang ingin/akan sampai kepada maqom tersebut. Dan terkadang orang yang menerangkan/membicarakan maqom itu orang yang telah sampai kedalam maqom tersebut, dan yang demikian itu kabur (samar/tidak berbeda), kecuali bagi orang yang tajam mata hati (bashiroh)nya.”
Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke 199, yang perlu kita perhatikan ada orang yang menerangkan suatu maqom karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata-kata para ulama’ shufiyyah, lalu diterangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai pada maqom itu, yang berbicara tentang maqom itu biasa saja,seperti berbicara tentang lainnya.
٭ لاَيَنْبَغى للسَّالكِ اَنْيُعَبِّرَ عنْ واَرِدَتِهِ فَاِنَّ ذٰ لكَ يُقِلُّ عَمَلَهاَ فى قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْ قِ مع رَبِّهِ ٭
202. “ Tidak layak bagi seorang salik menerangkan waridnya pada orang lain, sebab bisa mengurangi pengaruh warid dalam hati, dan menghalangi kesungguhannya kepada Alloh Tuhannya.”
Seperti keterangan-keterangan terdahulu tentang Warid yaitu : perkara yang diberikan Alloh kepada hambanya yang berupa ilmu yang langsung dari Alloh yang berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yang berjalan menuju Alloh) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada guru Mursyidnya, karena bisa mengurangi atsarnya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid didalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Alloh, karena menerangkan Warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yang bisa menjadikan kuat sifat-sifatnya nafsu. Yang demikian itu pandangannya belum bulat kepda Alloh, tetapi masih selalu mengharap apa-apa dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yang diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia-rahasia yang lebih besar selanjutnya.
203.
“Salik, Hati-hati dengan pemberian Makhluk”
٭ لا تَمُدَّ نَّ يَدَ كَ اِلىَ اْلاَخْذِ من الخَلاَٰ ءِـقِ اِلاَّ تَرٰى اَنَّ الْمُعْطِىَ فِيْهِمْ مَولاٰ كَ فَإِنْ كُنْتَ كذٰ لكَ فَخُذْ ماَ وَا فقَ الْعِلمَ ٭
203. “Jangan engkau ulurkan tangan untuk menerima pemberian makhluk, kecuali (sehingga) bila sudah bisa merasa bahwa sebenarnya yang memberi itu Tuhanmu, apabila engkau sudah demikian, maka terimalah pemberian mereka yang sesuai dengan ilmumu(syari’at/ halal).”
Sebab bila engkau masih merasa yang memberi itu makhluk (berarti ada yang dapat membantumu selain Alloh), maka Tauhidmu belum benar(murni) dalam menerima pengertian keEsaan Alloh dalam kalimah :Laa-ilaaha illalloh dan Laa haula walaa quwwata illa billah. Sebab hakikatnya semua pemberian itu hanya dari Alloh, semua hak dan kekuasaan Alloh semata,sehingga bila ada pemberian dari tangan siapa saja(makhluk), haruslah meyakini bahwa itu langsung dari Alloh yang menyuruh seorang hamba untuk menyampaikan kepadamu. Kamu juga jangan menerima pemberian makhluk kecuali yang sesuai dengan ilmumu, yakni : ilmu lahir (syariat) dan ilmu batin.
Kholid Al-Juhany ra. Berkata : Rosululloh saw. Bersabda : Siapa yang kedatangan hadiah/sedekah dari temannya tanpa ia meminta dan berharap dalam hatinya, maka hendaknya diterima, sebab yang demikian itu sebagai rizqi yang dihantar oleh Alloh kepadanya. Dalam riwayat lain ada tambahan: dan bila ia tidak membutuhkan karena sudah cukup, maka hendaknya diberikan kepada yang lebih berhajat dari padanya. Rosulullh bersabda : Siapa yang menolak rizqi yang diberi oleh makhluk tanpa minta-minta, maka sesungguhnya ia telah menolak pemberian Alloh.
Umar bin Khottob berkata : Rosululloh selalu memberi kepada saya, maka saya berkata, : berikan kepada orang yang lebih membutuhkan daripada saya. Rosululloh bersabda : Terimalah dan pergunakan atau sodakohkan, dan tiap harta yang datang kepadamudengan tidak engkau harapkan atau engaku minta, maka terimalah, dan yang tidak jangan engkau harap-harapkan.
Syeih Ibrahim al-Khowwas, berkata: Seorang shufi itu tidak harus memilih jalan tidak berusaha ((tajrid), kecuali jika memang sudah cukup keadaannya. Syeih abu Abdulloh Al-qurasy berkata : selama keinginan berusaha itu kuat dalam perasaan nafsu, maka berkasab itu lebih utama.
Syeih Al-A’masy (sulaiman) ra. Berkata: Ada seorang pemuda yang datang kepada Syeih Ibrohim At-taimy, untuk memberi hadiah uang sebanyak 2ooo dirham, sambil berkata: Terimalah uang ini, ini bukan dari raja, juga bukan uang syubhat dan lain-lainnya. Jawab Ibrohim, : Semoga Alloh memberkahi hartamu, dan membalas engkau dengan kebaikan dan terima kasih, lalu ditolaknya uang itu. Setelah pemuda itu pergi saya bertanya : Ya aba Imron, mengapa engkau tidak menerima pemberian itu, Demi Alloh, istrimu tidak memiliki gamis. Jawab Ibrahim : Benar, tetapi anak itu masih muda, belum banyak pengalaman, saya kuatir kalau ia kembali kekampungnya lalu memberi tahu kepada teman-temannya :saya telah memberi Ibrahim dua ribu dirhaham, maka hilang pahalanya dan hilang pula uangnya.
204.
“ MALU MEMINTA KARENA SUDAH PUAS”
٭ رُبّماَ اسْتَحْيَاالعَارِفُ اَنْ يَرْفَعَ حَاجَتـَهُ اِلىٰ مَوْلاَهُ لاِكْتِفَاءِـهِ بِمشِيـءَـتِهِِ فَكَيْفَ لاَ يَسْتَحِى انْ يَرْفَعَهَا إِلىَ خَلِيقَتِهِ ٭
204. “ Terkadang seorang ‘Arif itu malu meminta hajatnya kepada Tuhannya karena sudah merasa rela(puas dengan kehendakNya, maka bagaimana tidak malu meminta hajat/kebutuhannya kepada makhlukNya.”
Pada hikmah ke 185-186, telah banyak dibahas tentang lebih utama mana antara meminta/berdo’a atau tidak, dan merasa puas dengan pembagian dan pilihan Alloh, dan pada hikmah ini Syeih ibnu ‘Ato’illah menerangkan tentang sikap para ‘Aarif yang malu meminta hajatnya kepada Alloh, karena sudah merasa puas dengan kehendak Alloh, apalagi meminta kepada makhluk.
Syeih Sahl bin Abdulloh ra. berkata : Tiada suatu nafas atau hati melainkan diperhatikan oleh Alloh pada tiap detik, baik siang maupun malam, maka apabila Alloh melihat dalam hati itu ada hajat kepada sesuatu selain Alloh, niscaya Alloh mendatangkan iblis untuk hati itu.
Syeih Abu Ali Ad-daqqoq berkata : suatu tanda dari makrifat itu, tidak meminta hajat/kebutuhan kecuali kepada Alloh, baik besar maupun kecil. Contoh nabi Musa as. Yang rindu ingin melihat Alloh ia berkata : “ Robbi arini andhur ilaika. Dan ketika ia membutuhkan roti ia berdo’a : Robbi innii lamaa anzalta ilayya min khoirin faqiir.(Ya Tuhan sungguh aku terhadap apa yang engkau berikan kepadaku dari makanan itu sangat membutuhkan).
Nabi Ibrohim ketika akan dilemparkan kedalam api, ia didatangi malaikat Jibril dan ditanya : Apakah engkau ada hajat ? jawabnya : kepadamu tidak. Dan kepada Alloh? Ya. Jika demikian mintalah kepada Alloh. Jawab Ibrohim : Hasbi min su-ali ilmuhu billahi. (Cukup bagiku, Ia mengetahui keadaanku sehingga tidak usah saya minta kepadaNya).
Syeih Abul Hasan As-Syadzili ra. Ketika ditanya tentang ilmu kimia jawabnya : Keluarkanlah semua makhluk dari dalam hatimu, dan putuskan harapanmu untuk mendapat sesuatu selain yang telah ditentukan oleh Tuhanmu untuk kamu. Alloh berfirman : “Sabarlah terhadap hukum Tuhanmu karena engkau selalu dibawah pengawasan Kami”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar