Minggu, 30 Oktober 2016

HIKMAH 57-72

Hikmah 57

JANGAN MENINGGALKAN DZIKIR



٭ لاَتتـْرُكِ الذِكْرَ لِعَدَمِ حُضوُرِكَ مَعَ اللهِ فيهِ لاَنَّ غفلَتَكَ عن وُجُودِ ذِكرِهِ أَشَدُّ من غَفلَتِكَ فى وُجوُدِ ذِكرِهِ فعَساَهُ أَنْ يَرْفَعَكَ من ذِكرٍ مع وجودِغَفلَةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ غـَيْبَةٍ عمَّا سِوىَ المَذكـُورِ وَماَ ذٰلكَ على اللهِ بِعَزِيزِ .٭

57. "Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum bisa selalu ingat kepada Alloh di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu terhadap Alloh ketika tidak berdzikir itu lebih berbahaya dari pada kelalaianmu terhadap Alloh ketika kamu berdzikir." Semoga Alloh menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian, kepada dzikir yang disertai ingat terhadap Alloh, kemudian naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat, kepada dzikir yang disertai rasa hadir, dan dari dzikir yang disertai rasa hadir kepada dzikir hingga lupa terhadap segala sesuatu selain Alloh. Dan yang demikian itu bagi Alloh tidak berat [tidak sulit].

   Empat keadaan yang berkaitan dengan dzikir:
1: Berdzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Alloh.
2: Berdzikir dalam keadaan hati yang ingat kepada Alloh.
3: Berdzikir dengan disertai rasa kehadiran Alloh di dalam hati.
4: Berdzikir dalam keadaan fana' dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Alloh saja yang ada.
Seorang salik tidak boleh meninggalkan Dzikir, disebabkan karena hatinya belum bisa ingat/menghadap kepada Alloh. akan tetapi ia harus tetap selalu berdzikir walaupun hatinya masih belum bisa khudhur.
Karena orang yang meninggalkan dzikir itu jauh dengan Alloh hati dan lisannya. berbeda dengan orang yang mau berdzikir, meskipun hatinya masih jauh dengan Alloh karena belum bisa mengingat Alloh waktu berdzikir, tapi lisannya dekat dengan Alloh.
 karena tidaklah sulit bagi Alloh untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yang berdzikir dari suasana yang kurang baik kepada yang lebih baik hingga mencapai yang terbaik. Menaikkan satu tingkat [derajat] kelain tingkat [derajat], dzikir adalah satu-satunya jalan yang terdekat menuju kepada Alloh, bahkan sangat mudah dan ringan.
 Abu Qasim al-Qusyairy berkata: "Dzikir itu simbol wilayah [kewalian], dan pelita penerangan untuk sampai, dan tanda sehatnya permulaannya, dan menunjukkan jernihnya akhir puncaknya, dan tiada suatu amal yang menyamai dzikir, sebab segala amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak dapat dibatasi".
 Allah berfirman: "Berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada-ku, niscaya Aku berdzikir [ingat] kepadamu." [QS. Al-Baqorah 152].
 Dalam hadits Qudsi, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda, Alloh 'Azza wa Jalla berfirman: "Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir [mengingat] dalam dirinya. Aku pun berdzikir padanya dalam dzat-Ku dan jika ia berdzikir pada-Ku di keramaian, maka Aku pun berdzikir padanya dalam keramaian yang lebih baik dari pada kelompoknya, dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berjalan cepat."     
     Abdullah bin Abbas rodhiyallohu 'anhu berkata: "Tidak ada suatu kewajiban yang diwajibkan oleh Alloh pada hamba-Nya melainkan ada batas-batasnya, kemudian bagi orang-orang yang berudzur dimaafkan jika ia tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka tidak ada batas dan tidak ada udzur yang dapat diterima untuk tidak berdzikir, kecuali jika berubah akal [gila].
 Alloh berfirman"... Bagi orang-orang yang mempunyai pikiran [sempurna akal]. Yang selalu berdzikir [mengingat] Alloh sambil berdiri, duduk dan berbaring." [QS. Ali-Imran 190-191].
 Firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, Berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada Alloh dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang."
   Yakni pagi, siang, sore, malam, di darat, di laut, di udara, dalam perjalanan [musafir] berdiam diri pada semua tempat dan waktu, bagi yang kaya, miskin, sehat, sakit, terang-terangan atau sembunyi dengan lisan atau hati dan pada tiap keadaan.

Hikmah 58
TANDA HATI YANG MATI


٭ مِنْ علاَماَتِ مَوْتِ القلبِ عَدَمُ الحُزنِ على ماَ فاَتكَ منَ المُواَفَقاَتِ وَتركُ النَّدَمِ علىَ ما فَعلتهُ من الزَّلاَّتِ. ٭

58. "Sebagian dari pada tanda matinya hati, yaitu jika tidak merasa sedih [susah]karena tertinggalnya suatu amal [perbuatan] kebaikan [kewajiban], juga tidak menyesal jika terjadi berbuat pelanggaran dosa."

   Pada Hikmah sebelumnya diterangkan supaya jangan meninggalkan Dzikir walaupun hati belum bisa hadhir ketika berdzikir. Begitu juga dengan ibadah dan amal kebaikan. Janganlah meninggalkan ibadah lantaran hati tidak khusyuk ketika beribadah dan jangan meninggalkan amal kebaikan lantaran hati belum ikhlas dalam melakukannya. Khusyuk dan ikhlas adalah sifat hati yang sempurna. dzikir, ibadah dan amal kebaikan adalah cara-cara untuk membentuk hati agar menjadi sempurna. Hati yang belum mencapai tahap kesempurnaan dikatakan hati itu berpenyakit. Jika penyakit itu dibiarkan, tidak diambil langkah mengobatinya, pada satu masa, hati itu mungkin akan mati. Matinya hati berbeda dengan mati tubuh badan. Orang yang mati tubuh badan ditanam di dalam tanah. Orang yang mati hatinya, tubuh badannya masih sehat dan dia masih berjalan ke sana kemari dimuka bumi ini.

Manusia menjadi istimewa kerana memiliki hati rohani. Hati mempunyai nilai yang mulia yang tidak dimiliki oleh akal fikiran. Semua anggota dan akal fikiran menuju kepada alam benda sementara hati rohani menuju kepada Pencipta alam benda. Hati mempunyai persediaan untuk beriman kepada Tuhan. Hati yang menghubungkan manusia dengan Pencipta. Hubungan dengan Pencipta memisahkan manusia dari daerah kehewanan dan mengangkat darjat mereka menjadi makhluk yang mulia. Hati yang cerdas, sehat dan dalam keasliannya yang murni, berhubung erat dengan Tuhannya. Hati itu membimbing akal fikiran agar akal fikiran dapat berfikir tentang Tuhan dan makhluk Tuhan. Hati itu membimbing juga kepada anggota tubuh badan agar mereka tunduk kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang bisa mengalahkan akal fikiran dan anggota tubuh badannya serta mengarahkan mereka berbuat taat kepada Alloh adalah hati yang sehat.
Dalam suatu hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:"Barangsiapa yang merasa senang oleh amal kebaikannya, dan merasa sedih/menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin."
 Abdullah bin Mas'ud rodhiyallohu 'anhu berkata: ''Ketika kami dalam majelis Rosululloh saw, tiba-tiba datang seseorang yang turun dari kudanya dan mendekati Nabi shollallohu 'alaihi wasallam sambil berkata,  'Wahai Rosululloh, saya telah melelahkan kudaku selama sembilan hari, maka saya jalankan terus menerus selama enam hari, tidak tidur diwaktu malam dan puasa pada siang hari, hingga lelah benar kuda ini, demi hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yang telah merisaukan hatiku hingga tidak dapat tidur'. Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bertanya, 'Siapakah engkau?' Jawab orang itu, 'Zaidul-Khoir' Berkata Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, 'Wahai Zaidul-Khoir, bertanyalah kemungkinan sesuatu yang sulit, yang belum pernah ditanyainya'. Berkata Zaidul-Khoir, 'Saya akan bertanya kepadamu tanda-tanda orang yang disukai dan yang dimurkai?' Jawab Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, 'Untung, untung, bagaimanakah keadaanmu saat ini wahai Zaid?' Jawab Zaid, 'Saya saat ini, suka kepada amal kebaikan dan orang-orang melakukan amal kebaikan, bahkan suka akan tersebarnya amal kebaikan itu, dan bila aku ketinggalan merasa menyesal dan rindu pada kebaikan itu, dan bila aku berbuat amal sedikit atau banyak, tetap saya yakin pahalanya'. Jawab Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, 'Ya itulah dia, andaikan Alloh tidak suka kepadamu, tentu engkau disiapkan untuk melakukan yang lain dari pada itu, dan tidak peduli di jurang yang mana engkau akan binasa'. Berkata Zaid, 'Cukup wahai Rasululloh, lalu ia kembali ke atas kudanya, kemudian ia berangkat pulang'.''

Hikmah 59-60
DOSA DAN HUSNUD-DHON

٭ لاَ يُعظَمُ الذنبُ عِندَكَ عظمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسنِ الظنِّ بِاللهِ ، فَاِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَسغَرَ فىِ جَنْبِ كرَمِحِ ذ َنْبُهُ  ٭
59. "Jangan sampai terasa bagimu besarnya suatu dosa itu, hingga dapat merintangi engkau dari khusnudz-dzon [baik sangka] terhadap Alloh Ta'ala, sebab barangsiapa yang benar-benar mengenal Alloh Ta'ala, maka akan menganggap kecil dosanya itu di samping ketulusan kemurahan Alloh."

Merasa besarnya suatu dosa itu baik, jika menimbulkan rasa akan bertaubat dan niat untuk tidak mengulanginya untuk selama-selamanya. Tetapi jika merasa besarnya dosa itu akan menyebabkan putus dari rahmat Alloh, merasa seakan-akan rahmat dan ampunan Alloh tidak akan didapatnya, maka perasaan itu lebih berbahaya baginya dari dosa yang telah dilakukannya, sebab putus asa dari rahmat Alloh itu dosa besar dan itu perasaan orang-orang kafir.
 Abdulloh bin Mas'ud rodhiyallohu 'anhu berkata: "Seorang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yang akan menimpanya, sedang orang munafiq melihat dosanya bagaikan lalat yang hinggap diujung hidungnya, maka diusirlah ia dengan tangannya.
  Nabi shollallohu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Demi Alloh yang jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan kamu tidak berbuat dosa, niscaya Alloh akan mematikan kamu, dan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa lalu istighfar [minta ampun] dan diampunkan bagi mereka itu."
 Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Andaikan perbuatan dosa itu tidak lebih baik bagi seorang mukmin dari pada ujub [mau diagung-agungkan karena amal kebaikannya], maka Alloh tidak akan membiarkan seorang mukmin berbuat dosa untuk selamanya."
 Sebab ujub itu menjauhkan seorang hamba dari Alloh, sedang dosa itu menarik hamba mendekat kepada Alloh. Dan ujub, merasa besar diri, sedang dosa merasa kecil dan rendah diri di sisi Alloh.

٭ لاصغيرة اذاقابلك عدله ولاكبيرة اذاواجهك فضله٭

60. "Tidak ada dosa kecil jika Alloh menghadapi engkau dengan keadilan-Nya, dan tidak berarti dosa besar jika Alloh menghadapimu dengan karunia-Nya."

Yang dinamakan Adil yaitu: pelaksanaan hukum Alloh didalam kerajan-Nya yang tidak ada yang menentangnya. Apabila sifat adilnya Alloh itu dilaksanakan pada orang yang di benci Alloh, maka batal semua kebaikannya, dan dosa kecilnya akan menjadi dosa besar.
Yang dinamakan Fadhol yaitu: pemberian Alloh kepada hambanya yang tidak ada balasannya. Apabila sifat Fadholnya Alloh diberikan pada hambanya yang dicintai-Nya, dosa dan kesalahan yang besar akan di anggap kecil oleh Alloh.
   Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada dosa besar jika disertai dengan istighfar [minta ampun], dan tidak dapat dianggap dosa kecil jika dikerjakan terus menerus."
 Yahya bin Muadz rodhiyallohu 'anhu dalam berdoa ia berkata: "Tuhanku, jika Engkau kasihan kepadaku, Engkau ampunkanlah semua dosaku, tetapi jika Engkau murka kepadaku, tidaklah Engkau terima amal kebaikanku.''
Syeih as-Syadzili ra. berkata dalam do’anya: Ya robbi,semoga amal jelekku engkau jadikan seperti amal jeleknya orang yang engkau cintai, dan amal kebaikanku jangan engkau jadikan seperti kebaikannya orang yang engkau benci.

Hikmah 61

AMAL YANG BERNILAI DISISI ALLOH


٭ لاَ عمَلَ اَرْجٰى للِْقبُولِ من عملٍ يَغيْبُ عَنكَ شُهُودُهُ وَيُحتَقَرُّ عَنْكَ وُجوُدُهُ ٭

61. ''Tidak ada amal kebaikan yang dapat diharapkan diterima oleh Alloh, melebihi dari amal yang terlupa olehmu adanya dan kecil dalam pandanganmu kejadiannya."

 Amal kebaikan yang pasti diterima oleh Alloh, yaitu jika merasa bahwa amal itu semata-mata terjadi karena taufik dan hidayah dari Alloh, kemudian ia tidak membanggakan diri dengan amal itu, dan tidak merasa seakan-akan sudah cukup baik dengan adanya amal itu. Karena amal itu telah ditujukan kepada keridhoan Alloh, maka tidak usah diingat-ingat lagi. Sebab barangsiapa yang merasa sudah beramal, sesungguhnya jarang sekali yang tidak merasa ujub/arogan dengan amalnya itu. Dan itu suatu bahaya bagi amal itu.

Hikmah ke 62-64.
WARID


٭ اِنَّماَ اَوْرَدَ عليكََ الوَارِدِ لِتَكُونَ بِهِ عليهِ واَرِداً ٭

62. "Sesungguhnya Tuhan memberikan kepadamu warid [yaitu ilmu pengertian atau perasaan dalam hati, sehingga mengenal dan merasa benar-benar akan kebesaran karunia Alloh], hanya semata-mata supaya engkau mendekat dan masuk kehadirat Alloh."

WARID itu kadang diartikan dengan pemberian Alloh pada hambanya berupa ilmu ladunni dan pemahaman tentang ketuhanan-Alloh, yang menjadikan terang hatinya. Kadang diartikan bertajallinya Alloh pada hati hamba, meskipun si hamba tidak bisa merasakan karena terlalu tebalnya sifat kemanusiaannya. dan juga bisa disamakan dengan Ahwal. Jadi warid dengan Hal itu sama artinya. Seperti yang dimaksudkan  muallif:

٭ اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيَتَسَلَّمَكَ مِنْ يَدِ الاَغْياَرِ وَلِيُحَرِّرَكَ مِنْ رَقَ الاَثاَرِ ٭

63. "Alloh memberikan warid itu semata-mata untuk menyelamatkan engkau dari cengkeraman benda-benda, dan membebaskan dari perbudakan segala sesuatu selain Alloh subhanahu wata'ala."

Aghyar dan atsar yaitu: kepentingan duniawi dan kesenangan hawa nafsu.keduanya bagaikan orang yang ghosob(mengambil) dirimu karena kamu senang dan bergantung pada keduanya. lalu Alloh mendatangkan warid kepadamu untuk menyelamatkan kamu dari tangan orang yang ghosob dan membebaskan kamu dari orang yang memperbudak kamu(aghyar dan atsar). sehingga makhluk tidak punya bagian dan persekutuan dalam dirimu. sehingga kamu pantas menghadap kehadirat Ilahi.

٭ اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُودِكَ اِلٰى فَضاَءِ شُهُودِكَ٭

64. "Alloh memberikan kepadamu warid [karunia-Nya] supaya engkau keluar/terlepas dari kurungan bentuk kejadian dan sifat-sifatmu, ke alam luar yang berupa ma'rifat, mengenal kebesaran kekuasaan dan karunia Tuhanmu."


Dalam tiga pelajaran berkenaan dengan warid [karunia Tuhan] yang pertama diberikan kepadamu, supaya engkau ringan melakukan taat beribadah dan mendekat kehadirat Alloh Azza wa Jalla, tetapi kemungkinan kurang ikhlas, maka diturunkan warid yang kedua untuk melepaskan dari tujuan kepada sesuatu selain Alloh, sedang warid yang ketiga untuk melepaskan dirimu dari sifat-sifat dan wujud yang sempit kepada alam yang luas, melihat kebesaran Tuhan yang tidak terbatas sehingga lupa kepada diri dan hanya ingat kepada Alloh semata-mata.
Syeih Abul-qosim an-Nashrobady berkata: penjaramu yaitu dirimu sendiri (hawa nafsumu), kalau kamu bisa keluar dari dirimu, maka kamu akan enak selamanya.

Hikmah65-67
 NUR, BASHIROH DAN HATI

٭ الاَنْواَرُ مطَايَا القُلوُبِ والاَسرَارِ ٭
65. "Nur [cahaya] iman dan nur keyakinan itu sebagai kendaraan yang mengantarkan hati manusia dan asror (rahasia) ke hadirat Alloh."

  Nur Ilahyyah yang diberikan Alloh kepada hambanya  itu biasanya hasil sebab dzikir dan latihan-latihan. Nur itu yang menjadi kendaraan hati dan sir yang menyampaikan pada tujuannya yaitu masuk dan taqorrub kehadirat Alloh swt. Nur ini juga disebut Nur warid.



٭ النّوُرُ جُندُ القـُلوب، كَماَ أَنَّ الظُّلمَةَ جُندُ النَّفْسٍ ، فَاِذاَ أرَادَ اللهُ أَنْ يَنصُرَعَبْدَهُ، أمَدَّهُ بِجُنوُدِ الاَنْواَرِ وَقطَعَ عَنْهُ عَدَدَ الظُلمِ والاَغيَارِ ٭


66. "Nur [cahaya] tauhid itu sebagai pasukan [tentara] yang membantu hati, sebagaimana gelapnya syirik itu sebagai pasukan [tentara] yang membantu hawa nafsu. Maka apabila Alloh menolong hamba-Nya, maka dibantunya dengan pasukan [tentara] nur Ilahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan."

Nur [cahaya] terang yang berupa tauhid, iman dan keyakinan itu sebagai pasukan [tentara] pembela dan pembantu hati, sebaliknya kegelapan syirik dan keraguan itu sebagai pasukan [tentara] pembantu hawa nafsu. Sesungguhnya Nurut-tauhid dan gelapnya syirik keduanya akan selalu berperang,  Apabila Alloh menolong hambanya maka Alloh akan melenyapkan kegelapan syirik dan mengganti dengan nur tauhid.seperti contoh,ketika hatimu ingin mengerjakan kebaikan sedangkan nafsumu mengajak pada perkara sebaliknya, maka keduanya akan berperang untuk saling mengalahkan. ketika seperti itu bagi hamba tidak ada jalan lain kecuali meminta pertolongan dan berserah diri kepada Alloh. Dan disinilah terlihat jelas pengertian:
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya."
"Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Alloh, maka tidak ada yang dapat menunjukinya."
"Barangsiapa yang diberi petunjuk [hidayat] oleh Alloh, maka ialah yang mendapat petunjuk [hidayat], dan barangsiapa yang disesatkan oleh Alloh, maka tidak akan engkau mendapatkan pelindung atau pemimpin untuknya."


٭ النُّورُ لهُ الكشفُ والبَصِيرَة ُلهُ الحكمُ والقـَلبُ لهُ الاِقباَلُ والاَدْبارُ ٭

67. "Nur yang diberikan Alloh didalam hati itu bisa membuka arti sesuatu yang samar/rahasia. dan Bashiroh [mata hati] bisa menentukan hukum sesuatu sesuai apa yang dilihatnya, sedangkan  hati yang melaksanakan atau meninggalkan sesuatu sesuai apa yang telah dilihat  oleh bashiroh”

 
Nur Ilahi itu bisa membuka perkara yang samar dan rahasia seperti baiknya taat dan hinanya maksiat, rahasianya qodar dan lain-lain. dan bashiroh itu juga mempunyai hukum yakni bisa melihat seperti hal tersebut.  lalu kedua kasyaf itu terkadang kurang sempurna, sehingga hamba yang dikaruniai kasyaf tersebut tidak boleh mengerjakan dan menceritakan hal-hal tersebut sebelum meminta fatwa pada hatinya.

Hikmah 68-69

INGATLAH, KETAATAN ITU ANUGERAH DARI ALLAH

٭ لاَ تـُفـْرِ حُكَ الطَّاعَةُ، لاَنَّهاَ بَرَزَتْ منكَ، وَافرَحْ بِهاَ لاَنَّهاَ بَرَزَتْ مِنَ اللهِ ِليكَ. قـُلْ بِفَضلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فبذٰ لكَ فَليَفْرَحُوا هُوَ خيرٌ مِمَّا يجمَعُونَ
68. "Jangan merasa gembira atas perbuatan taat, karena engkau merasa telah dapat melaksanakannya, tetapi bergembiralah atas perbuatan taat itu, karena ia sebagai karunia, taufik dan hidayat dari Alloh subhanahu wata'ala kepadamu, 'Katakanlah, Dengan merasa mendapatkan karunia dan rahmat Alloh, maka dengan itu hendaknya mereka bergembira. Itulah yang lebih baik dari apa yang dapat mereka kumpulkan'. [QS. Yunus 58]."

Gembira atas perbuatan taat itu jika karena merasa mendapat kehormatan karunia dan rahmat Alloh sehingga dapat melakukan taat, maka itu lebih baik. Sebaliknya jika gembira karena merasa diri sudah kuat dan sanggup melaksanakan taat, maka ini menimbulkan ujub, sombong dan kebanggaan, padahal yang demikian itulah yang akan membinasakan amal taat. Alloh 'Azza wa Jalla telah memperingatkan hambanya yang sombong dan ujub [mengagungkan diri] dengan firmannya dalam hadits Qudsi, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Alloh 'Azza wa Jalla berfirman,'Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang mengambil salah satu dari kedua hal tersebut dari-Ku, maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka'."

٭ قطَعَ السَّاءـرينَ لهُ، والواَصِلينَ مِنْ رُوءْيَةِ أعْمالهِمْ ، وَشُهُودِ أحْوالهِمْ. أمَّاالسّاءـرُونَ فَلاَِ َنَّهُمْ لَمْ يَتحَقــَّقوا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيهاَ. أمَّ الواَصِلوُنَ فَلاَِ َنَّهُمْ غيبهُمْ بِشُهُودِهِ عَنْهاَ ٭
69. "Alloh telah memutuskan orang-orang yang berjalan menuju kepada-Nya, dan yang telah sampai kepada-Nya, dari pada melihat/mengagumi amal [ibadah] dan keadaan diri mereka. Adapun orang yang masih sedang berjalan, karena mereka dalam amal perbuatan ibadah itu belum dapat melaksanakan dengan ikhlas menurut apa yang diperintahkan. Adapun orang-orang yang telah sampai, maka karena mereka telah sibuk melihat kepada Alloh, sehingga lupa pada amal perbuatan sendiri."

Sehingga apabila ada amal perbuatan diri sendiri, maka itu hanya karunia, taufik dan rahmat Alloh subhanahu wata'ala semata-mata. Tanda bahwa Alloh telah memberi taufik dan hidayah pada seorang hamba, apabila disibukkan hamba itu dengan amal perbuatan taat, tetapi diputuskan dari pada ujub dan arogan dengan amal perbuatan itu, karena merasa belum tepat mengerjakannya, atau karena merasa bahwa perbuatan itu semata-mata karunia Alloh, sedang ia sendiri merasa tiada berdaya untuk melaksanakan andaikan tiada karunia dan rahmat Alloh Ta'ala.

Hikmah 70-72

 TAMAK AKAN MELAHIRKAN KEHINAAN

٭ ماَ سَبَقتْ اَغْصاَنَ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ ٭

70. "Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak [kerakusan]."
  Sifat tamak bagian dari besarnya aib yang mencela sifat kehambaan,
Sifat tamak [rakus] itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.
 Sifat tamak [rakus] itu adalah sumberdari segala penyakit hati,karena tamak itu hanya bergantung pada manusia,minta tolong pada manusia, bersandar pada manusia, mengabdi pada manusia, yang demikian itu temasuk kehinaan, sebab ragu-ragu dengan taqdirnya Alloh.
  Abu Bakar al-Warroq al-Hakim berkata: "Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, 'Siapakah ayahmu?' Pasti jawabnya, 'Ragu terhadap takdir Alloh'. Dan bila ditanya, 'Apakah pekerjaanmu?' Jawabnya, 'Merendahkan diri'. Dan bila ditanya, 'Apakah tujuanmu?' Jawabnya, 'Tidak dapat apa-apa."

Suatu hikayat mengatakan: "Ketika Ali bin Abi Tholib Karomalloh wajhah, baru masuk ke masjid Jami' di Basrah, didapatinya banyak orang yang memberi ceramah didalamnya. Maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan yang ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat,  maka mereka di usir dan tidak diizinkan memberi ceramah di masjid itu, dan ketika sampai ke majelis Hasan al-Basri, ia bertanya, 'Wahai para pemuda! Aku akan bertanya kepadamu sesuatu hal, jika engkau dapat menjawab, aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, aku usir engkau sebagaimana teman-temanmu yang lain, telah aku usir itu'.
Jawab Hasan al-Basri, 'Tanyakan sekehendakmu'.
Sayyidina Ali bertanya, 'Apakah yang mengokohkan agama?'
Jawab Hasan, 'Waro' [menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yang bersifat syubhat dan haram].
Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi, 'Apakah yang dapat merusak agama?'
Jawab Hasan, 'Tamak [rakus]'.
Imam Ali berkata kepadanya, 'Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang seperti engkaulah yang dapat memberi ceramah kepada publik'."

Seorang guru berkata: "Dahulu ketika dalam permulaan bidayahku di Iskandariyah, pada suatu hari ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seorang yang mengenal aku, timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini, tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi, 'Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk'." Waro' dalam agama itu menunjukkan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Alloh. Waro' yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian, penerimaan atau penolakan, dan semua itu hanya terlihat langsung dari Alloh Ta'ala.
Sahl bin Abdullah berkata: "Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, karena itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman."
Semua hamba pasti akan makan rezeki-Nya, hanya berbeda-beda, ada yang makan dengan kehinaan, yaitu peminta-minta. Ada yang makan rezeki-Nya dengan bekerja keras, yaitu para buruh, ada yang makan rezeki-Nya dengan cara menunggu, yaitu para pedagang yang menunggu sampai adanya membeli barang-barangnya. Adapun yang makan rezeki-Nya dengan rasa mulia, yaitu orang sufi yang merasa tidak ada perantara dengan Tuhan.


٭ماَ قاَدَكَ شىءٌ مثـل الوَهْمِ ٭

71. "Tiada sesuatu yang dapat menuntun/memimpin engkau (pada kehinaan)seperti angan-angan [bayangan yang kosong]."


Wahm: Ialah tiap-tiap angan-angan terhadap sesuatu selain dari Alloh, yang berarti angan-angan yang tidak mungkin terjadi.  Dan biasanya nafsu itu lebih tunduk pada wahm/ angan-angan, dari pada pada akalnya. Sebagai contoh: manusia itu biasanya lari apabila melihat ular, karena dia berangan-angan ular itu akan menggigit dirinya. Apabila dia(nafsunya) tunduk pada akalnya, tentu dia tidak lari. Karena apa-apa yang sudah ditentukan Alloh pasti wujud, dan sebaliknya.
Ingatlah tidak ada orang yang bisa selamat dari sifat tamak,kecuali orang yang khusus yaitu orang-orang yang ahli Qona’ah dan berserah diri pada Alloh, yang hatinya sama sekali tidak bergantung pada makhluk(manusia).


٭ أنْتَ حُرُّمِمَّا اَنتَ عَنْهُ أيِسٌ وَعَبْد ٌ لمَا اَنتَ لهُ طاَمعُ ٭
72. "Engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan, dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yang engkau inginkan."

  Hikmah ini menunjukkan hinanya tamak, dan baiknya Qona’ah.
Andaikan tidak ada keinginan-keinginan yang palsu dan sifat tamak, pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berharga.
العبد حرّماقنع ٭ والحرُّعبد ٌماطمع
Budak itu merdeka/bebas selagi dia menerima pembagian dari Alloh(Qona’ah) *orang merdeka itu menjadi budak selagi dia tamak.
Qona’ah yaitu: tenangnya hati karena tidak adanya sesuatu yang sudah biasa ada. Dan qona’ah itu awal dari pada sifat zuhud.
Suatu hikayat:
Burung elang [rajawali] yang terbang tinggi di angkasa raya, sulit orang akan dapat menangkapnya, tetapi ia melihat sepotong daging yang tergantung pada perangkap, maka ia turun dari angkasa oleh karena sifat tamaknya [rakusnya], maka terjebaklah ia dari perangkap itu sehingga ia menjadi permainan anak-anak kecil.

Fateh al-Maushily ketika ditanya tentang ibarat orang yang menurutkan nafsu syahwat dan sifat tamaknya [rakusnya], sedang tidak jauh dari tempat itu ada dua anak sedang makan roti, yang satu hanya makan roti, sedang yang kedua makan roti dengan keju, lalu yang makan roti ingin yang keju, maka ia berkata kepada temannya:
“Berilah kepadaku keju.” Jawab temannya: “Jika engkau suka jadi anjingku, aku beri keju”.
Jawab anak yang meminta: ‘Baiklah’.
Maka diikatlah lehernya dengan tali sebagai anjing dan dituntun.
Berkata Fateh kepada orang yang bertanya: “Andaikata anak itu tidak tamak [rakus] pada keju, niscaya ia tidak menjadi anjing”.

suatu kejadian, ada seorang murid didatangi oleh gurunya, maka ia ingin menjamu gurunya, maka ia keluarkan roti tanpa lauk pauk, dan tergerak dalam hati si murid sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna. Dan setelah selesai sang guru makan apa yang dihidangkan itu, berdirilah sang guru dan mengajak si murid keluar tiba-tiba ia dibawa ke penjara untuk ditunjukkan berbagai macam orang yang dihukum, baik yang dirajam atau dipotong tangannya dan lain-lain, lalu berkatalah sang guru kepada muridnya:
Semua orang-orang yang engkau lihat itu, yaitu orang yang tidak sabar makan roti saja tanpa lauk pauk.

Ada seorang yang baru dikeluarkan dari penjara, yang masih terikat kakinya dengan rantai ia meminta-minta sepotong roti kepada seseorang, maka berkatalah orang tempatnya meminta:
Andaikata sejak dulu engkau mau menerima sepotong roti, maka tidak akan terikat kakimu itu.

Dalam hikayat lain dikisahkan:
Ada seseorang melihat seorang hakim sedang makan buah yang jatuh ke sungai, maka orang itu berkata, 'Wahai bapak hakim, sekiranya engkau mau bekerja pada Baginda Raja tentu engkau tidak sampai makan buah yang jatuh ke dalam sungai.
Lalu dijawab oleh sang hakim:
Andaikan engkau suka menerima makanan ini, tidak perlu menjadi budaknya Raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar