Selasa, 15 November 2016

KAJIAN Rebo Wekasan

Rebo Wekasan

A. Pendahuluan
Salah satu dari tradisi yang sudah mengakar di masyarakat kita adalah rangkaian ritual yang populer dengan sebutan “ REBO KASAN “, yaitu ritual yang dilaksanakan sekali dalam satu tahun setiap hari Rabu akhir pada bulan Shofar, yaitu bulan kedua dari penanggalan Hijriyah.
Respon yang diberikan pada tradisi ini juga terdapat variasi (khilaf) diantara tokoh maupun kelompok masyarakat. Mereka yang beraliansi kepaham Wahabi dengan slogan pembersihan islam dari segala pengaruh tradisi dan budaya yang mereka anggap melanggar ajaran, sudah pasti menolak keras semua bentuk ritual rebo Kasan, karena jelas tidak mungkin di masyarakat arab, terlebih pada zaman Nabi ada istilah Rebo Kasan. Dalam penolakanya kelompok ini selalu membawa yel-yel dan atribut kefahaman mereka dari bendera bid’ah, syirik, khurafat dan semacamnya.

Sementara kelompok yang lain ada yang cenderung menerima tanpa telaah mendalam atas segala bentuk tradisi, khususnya masyarakat awam yang telah melebur dalam ritual agama seperti halnya Rebo Kasan, Sepuluh Suro dan lain sebagainya. Upaya-upaya pembenaranpun dilakukan dengan berbagai cara dari yang konfensional dengan menggunakan dogma agama sampai argumen-argumen yang terkadang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Dalam hal ini kelompok islam kejawen ada didalam dan diluar keduanya. Adapula sekelompok yang mencoba mendudukkan persoalan pada porsinya, Karena tidak mungkin semua tradisi itu bid’ah namun tidak pula semua tradisi dibenarkan, disinilah kelompok Ahlussunnah yang tergabung dalam NU.


B. Istilah Rebo Kasan


Istilah Rebo Kasan sendiri terjadi selisih pendapat. Sebagian mengasumsikan kata kasan merupakan penggalan dari kata Pungkasan yang berarti akhir dengan mambuang suku kata depan menjadi kasan Teori  ini lebih mudah dimengerti. sebab Rebo Kasan adalah hari rabu yang terakhir dari bulan Sapar atau Shofar, bulan kedua dari penanggalan hijriyyah.

Sebagian yang lain memahami kata Kasan merupakan penggalan dari kata Wekasan yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti Pesanan, Berangkat dari teori ini istilah  Rebo Kasan berarti hari Rebo yang spesial tidak seperti hari-hari Rabo yang lain.  Seperti barang pesanan yang dibikin secara husus dan tidak dijual kepada semua orang. Kesimpulan ini bisa dipahami oleh karena Rebo Kasan memang hanya terjadi sekali dalam setahun dimana para sesepuh manti–manti (wekas) agar hati-hati pada hari itu.


Selain kedua versi tersebut ada satu lagi yang mengasumsikan kata kasan dari kata  bahasa arab hasan yang berarti baik. Kata kasan adalah kata yang utuh bukan penggalan dari kata lain. Walaupun  penalaranya agak sedikit rumit akan tetapi tampak paling mendekati benar karena asumsi yang dipakai keutuhan kalimatnya bukan penggalan dari kalimat lain.

Barangkali kata kasan yang berarti baik sengaja dibubuhkan untuk memberi sugesti pada umat atau masyarakat agar tidak terlalu cemas dengan gambaran yang ada pada hari Rebo Kasan tersebut.

C. Asal Mula Ritual Rebo Kasan

Disebutkan dalam banyak sumber dari referensi Islam Klasik bahwa salah seorang Waliyulloh yang telah mencapai makom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti hal–hal gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Alloh SWT menurunkan bala’ sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu bertepatan setiap malam Rebo akhir dari bulan Shofar.

Oleh karena itu Wali tersebut memberi nasahat mengajak pada umat untuk bertaqorrub pada Alloh seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada hari itu. Lebih jauh beliau memberi tuntunan tatacara bertaqorrub dengan rangkaian do’a-do’a yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak bala. Pada intinya rangakian doa itu diberikan oleh para wali-wali Alloh sebagai upaya memohon kepada Alloh untuk diberikan keselamatan dan di jauhkan dari semua macam bala yang diturunkan pada hari itu. Tata cara dan bentuk do’a yang diberikanpun berbeda – beda dari satu guru keguru yang lain.

Inilah asal muasal ritual Rebo Kasan yang mengakar dan di lakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi.

D. Bentuk Ritual

             Bentuk ritual rebo kasan yang banyak  dilakukan meliputi empat macam, yaitu : Sholat yang populer di masyarakat dengan sebutan sholat tolak bala atau sholat rebo kasan, doa kemudian minum air jimat dan yang keempat selamatan. Berikut ini kupasan keempat macam ritual tersebut akan teteapi oleh karena pembahasan sholat cukup panjang maka kupasannya kami posisikan paling belakang.

a. Do’a
Diantara do’a-do’a  yang banyak dibaca pada hari Rebu Kasan adalah rangkaian do’a seperti yang terdapat pada kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid Kudus halaman 26, dan pada kitab-kitab yang lain. Meskipun silsilah do’a itu sendiri disusun oleh siapa sejauh ini belum dapat ditelusuri dengan pasti, namun demikian melihat lafal dan makna dari do’a itu sendiri tidak ada yang pelu diperdebatkan panjang. Persolannya kembali pada persoalan klasik seputar hukum tawassul dan Do’a Bighoiril Ma’tsur yang kajianya sudah banyak dilakukan.

b. Minum air azimat
Disebutkan dalam kitab Nihayatuz Zain karya imam Nawawi Aljawi Albantani yang merupakan syarah atau penjelasan dari kitab matan Fiqih Qurrotul ‘Ain, barang  siapa yang menulis ayat salamah tujuh yaitu tujuh ayat Alqur’an yang diawali dengan lafal Salaamun : “Salaamun Qoulammirrobirrohim, Salaamun ‘ala nuhin fil’alamin, Salaamun ‘ala ibrohiim, Salaamun ‘ala musa wa harun, Salaamun ‘ala ilyasin, Salaamun ‘alaikum thibtum fadkhuluha kholidin,  Salaamun hiya hatta mathla’il fajr.” Kemudian tulisan tersebut dilebur/direndam dengan air, maka barang siapa yang mau meminum air tersebut akan diselamatkan dari baliyyah/bala’ yang diturunkan.

c. Selamatan
Pada sebagian masyarakat disamping ritual-ritual diatas dilakukan pula selamatan dengan membagikan nasi pada tetangga dan saudara. Disebagian daerah nasi itu dibawa ke suatu tempat seperti Masjid atau Musholla untuk dinikmati bersama-sama. Mereka yang tidak mampu membuat nasi cukup membawa jajan  atau minuman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk taqorrub dengan mengeluarakan sebagian haknya/shodaqoh didasari harapan diselamatkan dari segala bentuk bala’ dengan sodaqohnya. Sesuai dengan tuntunan yang artinya bahwa Sodaqoh itu dapat menangkal turunya  bala’.

d. Sholat Sunnah
Pada dasarnya sholat yang husus untuk Rabu Kasan atau sholat tolak bala tidak ada dalam literatur islam, seperti halnya sholat roghoib dan semacamnya. Hal ini berbeda dengan ritual-ritual yang lain seperti do’a, dzikir dan lain sebagainya dimana pada selain sholat bisa diakomodir bentuk-bentuk baru yang belum dikenal sebelumnya. Sedang sholat segala sesuatunya sudah ditentukan dari mulai tatacara sholat sampai jenis-jenis atau macam-macam sholat. Dengan kata lain dalam sholat tidak ada ruang inovasi baru baik dalam tatacara maupun macam-macamnya.

Lalu bagaimana dengan sholat sunnah yang dilakukan secara khusus setiap Rabu Kasan?

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa sholat yang dilakukan tidak mungkin bentuk sholat baru apapun namanya, akan tetapi mesti include dalam salah satu bentuk sholat yang sudah ditentukan dan dikenal pada zaman Rosululloh SAW
Cara melakukan sholat

Salah satu macam sholat yang sudah dikenal adalah sholat sunnah mutlak. Yaitu sholat sunnah yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab musabab maupun bilangan rokaat. Sholat sunnah mutlak inilah yang paling mungkin untuk  dilakukan pada hari Rabu Kasan dalam rangka taqorrub guna  mengharap keselamatan dari Alloh SWT.

Disebutkan dalam kitab Kanzun Najah hal 25\26 : barang siapa yang melakukan sholat empat rokaat dimana setiap rokaatnya membaca surat
-      Alfatihah          X 1
-      Al Kautsar       X 17
-      Al Ikhlas           X 5
-      Al Falaq            X 1
-      An Nas              X 1
dilanjutkan dengan membaca doa seperti diatas maka akan diselamatkan dari bala’ yang Alloh turunkan pada hari itu.

E.  Tinjauan Hukum

Bagaimana hukum melaksanakan tradisi Rebo kasan?, Hukum melaksanakan tradisi Rebo Kasan sebagaimana rangkaian diatas adalah sebagai mana melaksanakan tradisi-tradisi  lainnya. Artinya dari sudut pandang kegiatan itu sebagai tradisi maka pelaksanaanya tidak bisa dikatakan harom ataupun sunnah apalagi wajib (lihat mafahim, sayyid Muhmmad Almaliki hal 339-341).

Bagaimana teknis pelaksanakan ceremoninya dari tradisi itu sendiri yang menentukan status hukumnya. Sesuai dengan diskripsi di atas maka ceremony yang umum dilakukan ada tiga macam: diawali dengan sholat sunnah dan dilanjutkan do’a kemudian meminum air jimat, dan sebagian dilengkapi dengan selamatan.  Dalam pembahasan sholat sunnah sudah dipaparkan bahwa sholat sunnah yang memilki sifat fleksibelitas adalah sholat sunnah mutlak. Maka bilamana dalam melakukan sholat tersebut dengan cara sunnah mutlak maka hukumnya boleh dan bisa mendapatkan pahala dari sisi melaksanakan sholat sunnahnya. Sedang bilamana dalam melakukan sholat sunnah tersebut niatnya sunnah rebo kasan atau sholat tolak bala maka hukumnya tidak sah dan berdosa karena telah membuat syariat baru yang tidak dikenal pada masa Rosululloh SAW.

Adapun pembacaan do’a tertentu pada malam atau hari Rabu Kasan maka itu adalah bagian dari pelaksanaan perintah Alloh SWT yang artinya : ”Berdo’alah kalian padaku maka aku kabulkan do’amu”. Tidak ada larangan do’a yang dilakukan pada waktu atau momentum tertentu, kapanpun dan dimanapun kita berdo’a Alloh SWT mendengar dan mengkabulkan. Lebih jauh Rosululloh SAW. bersabda yang artinya : ”Do’a itu adalah inti dari ibadah”. mengacu dari hadist tersebut bahwa doa bagian dari ibadah maka barang tentu orang yang melakukannya bisa mendapat pahala dari sisi ini.

Begitupula dengan ritual meminum air jimat. Sebagai seorang yang beriman barang tentu meyakini bahwa tidak satupun bisa mendatangkan manfaat dan madlorot kecuali Alloh SWT. Dan dalam kapasitas sebagai seorang hamba orang yang beriman mesti melakukan upaya/ihktiar untuk mendapatkan manfaat dan terhindar dari madlorot. Keberadaan air jimat adalah dalam kapasitas ikhtiar, sama dengan keberadaan nasi maupun obat-obatan sebagai ikhtiar untuk mendapatkan kenyang dan kesembuhan. Ikhtiar dengan menggunakan air jimat ini pernah pula dilakukan para shohabat pada masa hidupnya  Rosululloh SAW.

Sedangkan selamatan dengan membagikan makanan ataupun minuman pada orang lain merupakan suatu perbuatan positif yang sangat dianjurkan oleh Alloh dalam banyak ayat, karena diakui atau tidak tradisi selamatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat merupakan wujud dari rasa kepedulian dan kebersamaan yang sangat dianjurkan oleh agama kapanpun dan dimanapun tanpa terkecuali hari Rebo kasan ataupun hari-hari lainnya. Teramat banyak ayat-ayat Alqur’an yang menerangkan tuntunan itu sehingga tidak perlu kami paparkan disini.

F. Termasuk Bid’ah atau bukan ?

Pertanyaan ini mesti dijabarkan dengan panjang terkait dengan pembahasan  bid’ah dan sunnah. Tentu saja kajianya yang panjang tidak relevan untuk dipaparkan disini. Karenanya, insya Alloh nanti akan dikupas pada edisi berikutnya. kesimpulanya bahwa tradisi Rebo kasan tidak termasuk bid’ah yang sayyi’ah/negatif yang tidak boleh dilakukan. Akan tetapi sekiranya itu merupakan bid’ah maka bid’ah yang hasanah/ positif yang boleh dan baik dilakukan sekiranya sesuai dengan tuntunan-tuntunan sebagaimana yang terdiskripsikan di sini. Keberadaan bid’ah hasanah seperti ini pernah disampaikan khalifah Umar bin Khotob ketika menyelenggarakan sholat sunnah tarowih dua puluh rokaat dengan berjamaah : “sebaik – baik bid’ah adalah menyelenggarakan tarawih duapuluh rokaat dengan berjama’ah”

G. Kesimpulan

Tradisi Rebo kasan adalah bukan bagian dari ajaran agama atau ibadah. Akan tetapi, merupakan salah satu dari tradisi yang positif. Dimana tradisi itu termotifasi oleh semangat husnudz dzon dan keyakinan yang kuat kepada para auliya’, sebagaimana disebutkan dalam Al-qur’an surat Yunus:62 yang artinya : ”Ingatlah sesungguhnya para wali Alloh tiada merasakan takut tiada pula merasakan sedih”.

Segala bentuk ritual yang dilakukan pada Rabu kasan adalah menjadi bagian dari tradisi seperti halnya ulang tahun, tujuh belas agustus, Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj dan sebagainya, dimana tinjauan hukumnya sangat bergantung pada teknis pelaksanaan itu sendiri. Adakah pelaksanaan itu sesuai dengan ketentuan syariat ataukah terjadi penyimpangan maka status hukumya mengikuti.

Kepada mereka yang meyakini kebenaran apa yang disampaikan oleh para wali maka hendaknya melakukan ritual-ritual Rebo kasan yang mampu dilaksanakan tanpa harus terkecoh dengan slogan bid’ah maupun syirik karena tidak satupun ajaran dari para wali menyimpang dari ajaran Alloh SWT. Begitupula yang tidak meyakini untuk tidak mudah melakukan tuduhan bid’ah atupun syirik pada mereka yang mengamalkan tuntunan Rebo kasan ini. Semoga kita semuanya senantiasa dalam bimbingan hidayah dan rahmatNya.
http://e-kajianilmu.blogspot.co.id/2010/01/rebo-wekasan_31.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar