KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR GARUT
KERAJAAN TIMBANGANTEN
Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin
mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten. Sunan
Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal
dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem
Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan
Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem
Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten
merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk wilayah dari Tatar Ukur.
Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, adalah daerah Kerajaan
Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah
dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan
Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati
Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian
besar Wilayah Jawa Barat, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur
Sasanga”.
Setelah Kerajaan
Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam
usaha menyebarkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah
kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan
Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun
(1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah Barat
Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah yang
kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Sumedanglarang
diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya,
Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu
status Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama
Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di
bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang
berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi
Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria Suriadiwangsa menjadi “Bupati Wedana”
(Bupati kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata/Rangga Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga
Gempol I untuk menaklukkan Daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan
“Bupati Wedana” Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I, yaitu Pangeran
Dipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat
Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh karena, sebagian
Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan
agung. pangeran dipati Rangga Gede ditahan di Mataram.
Jabatan Bupati Wedana
Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut
Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan
Dipati ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan
tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa
sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja
Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga Gede,
atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para
pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni
gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.
Tindakan Dipati Ukur
dianggap Pihak Mataramsebagai tanda pemberontakan terhadap penguasa kerajaan
Mataram. terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan,
antara lain karena Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara
langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan Daerah
Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat kekuasaan,’ maka
kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian, berkat
bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat
memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang
(babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (Bandung) pada Tahun 1632.
Setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan
kembali oleh Sultan Agung kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas
dari hukumannya. Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi
pemerintahannya di Priangan, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan
keamanan daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi
menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten ParakanMuncang,
dan Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari
Priangan yang dianggap telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan Dipati
Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :
1. Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai “Mantri
Agung”(Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangunangun.
2. Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
3. Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha.
Ketiganya dilantik
secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung” yang dikeluarkan Hari Sabtu
Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan Jawa). dengan demikian, Tanggal 9
Muharram Tahun Alip bukan hanya merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja,
namun sekaligus juga Hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Setelah ketiga
Bupati tersebut dilantik di Pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke
daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati
Bandung Tumenggung Wirangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke
Tanah ukur. Pertama kali mereka datang ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati
Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wirangunangun bersama
rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum
dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan) sebagai
ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah
sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede”.
Wilayah Administratif
Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir Abad ke-17), belum
diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu
belum ditemukan. menurut sumber pribumi, pada Tahap awal Kabupaten Bandung
melputi beberapa daerah , antara lain : Tatar Ukur termasuk Daerah Timbanganten,
Kuripan, Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang. Boleh jadi, Daerah Priangan
di luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula
merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur,
merupakan Wilayah Administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila ini benar,
maka Kabupaten Bandung dengan ibukota krapyak, wilayahnya mencakup Daerah
Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya,
Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain (termasuk Kuripan,
Sagaraherang, dan Tanah Medang).
Kerajaan Timbanganten
yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Di Puntang (Untuk Kerajaan
mandala Di Puntang, disilakan menyimak tulisan saya di dokumen DPP Gema Sunda
Jabar) merupakan Bukti akan adanya kerajaan di Daerah Garut, khususnya di
Daerah Tarogong sekarang. ketika penguasa terakhir yang bernama Dipati Ukur
ditumpas oleh Mataram, maka Kerajaan Timbanganten ditinggalkan. Setelah
dibentuknya Bandung yang mengambil bagian Tatar Ukur sebagai bagian dari sultan
Agung atas keberhasilannya menumpas karaman Dipati Ukur. Sadjarah Bandung
(Naskah), menyebutkan bahwa di Timbanganten hanya tersisa 200 cacah.
Naskah Sajarah Turunan Timbanganten
Naskah ini merupakan
salah satu naskah kuno yang diketemukan di Kabupaten Garut. Naskah berukuran 21
x 29 cm, ruang tulisan : 19 x 27 cm, dan ketebalan naskah sebanyak 32 halaman.
Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa dan memakai Huruf Arab Pegon. Naskah
berisi tentang sejarah turunan Kerajaan Timbanganten yang disebut-sebut cikal
bakal Kabupaten Bandung, sebab Wilayah Kabupaten Bandung hampir sebagian besar
bekas Tatar Ukur Timbanganten. Maka Naskah ini berisi silsilah pun berhubungan
dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya silsilah
tersebut diawali dari Nabi Adam AS sebagai manusia pertama; kemudian melalui
Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Manarah dan Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran).
Ratu Galuh dianggap sebagai sebagai raja pertama di Pulau Jawa. Ada pun
deskripsi naskah ini adalah sebagai berikut :
Keluarga bangsawan
Timbanganten muncul sejak Dalam Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten.
Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong
Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan
adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Puntang. Ia pernah
menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyimas
Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan
Permana di Puntang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan
“menghilang” (tilem) di Gunung Satria.
Terdapat perbedaan
mengenai Dalem Pasehan. Dalam sejarah Kerajaan Mandala di Puntang, tokoh ini
merupakan penguasa kerajaan tersebut hingga akhirnya, berdasarkan keputusan
Prabu Siliwangi di Pajajaran, kepemimpinan diserahkan kepada isterinya yang
merupakan anak Dalem Pasehan sendir, yaitu Ratu Maraja Inten Dewata menjadi
Nalendra di Kadaleman Mandala di Puntang. Perpindahan kekuasaan dari Kerajaan
Mandala di Puntang menjadi Kadaleman Timbanganten terjadi pada masa
pemerintahan Derma Kingkin.
Sebagai pengganti
yang menjadi Ratu adalah anaknya Sunan Dayeuh Manggung yang dmakamkan di Dayeuh
Manggung. Sunan dayeuh manggung wafat dan digantikan anaknya , Sunan Derma
Kingkin yang makamnya di muara Sungai Cikamiri. Setelah Sunan Derma Kingkin
meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di
Korwabokan. Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi ratu
di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon
(menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (ipar Sunan
Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang di makamkan di Pulau
Cangkuang.
Sunan Pangadegan
meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri
meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Saanugiren (kakak
Sunan Demang). Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang
Wirakrama. Demang Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan
digantikan oleh Putranya, Raden Demang Candradita yang di kemudian hari menjadi
Penghulu Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kamuning.
Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem di
Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya Timbanganten.
Pengganti Demang
Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja , setelah meningggal dikenal
dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya
bernama Raden Inderanegara dan bergelar Tumenggung Anggadireja, ketika
meninggal dimakamkan di astana Tarik Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja
meninggal digantikan putranya , Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati
Wiranatakusumah. Dalem Adipati Wiranatakusumah meninggal dan dimakamkan di
pinggir mesjid Tarik Kolor Bandung (sekarang lokasi Mesjid Agung Propinsi Jawa
Barat, di Jalan Dalem Kaum Bandung). Selanjutnya, sebagai pengantinya adalah
putranya bernama Dalem Dipati Wiratanukusumah.
Dalem Dipati
Wiratanukusumah meninggal, maka yang menggantikannya Raden Nagara (putranya)
serta bergelar Dipati Wiratanukusumah, tetapi tidak lama karena ia di bunuh
kolonial Belanda. Dipati Wiratanukusumah digantikan putranya, Raden Rangga
Kumetir dan bergelar Dalem Adipati. Sewaktu dalem Adipati meninggal yang
menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Adipati Kusumadilaga Bintang
(DALEM BINTANG).
Dalam naskah ini
diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbanganten, Tanah Cihaur dan Tanah
Ukur Pasir Panjang yang dibatasi Gunung Mandalawangi. Selanjutnya Timbanganten
berganti nama menjadi Tarogong, dan sebagian dari Wilayah Tatar Ukur, sekarang
termasuk pada wilayah Administratif Kabupaten Garut, yaitu : Kecamatan Tarogong
Kaler dan Kidul (dimana pada saat proses pemekaran Kecamatan Tarogong Tahun
2002, Penulis terlibat langsung dan turut membidani lahirnya 2 kecamatan baru
ini), kemudian Samarang, Leles, dan Kadungora atau Cikembulan. (TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar