Minggu, 10 Juni 2018

Penutupan Paskil Ramadlan 2018

Sabtu, 9 Juni 2018/Malam 25 Ramadlan di Pst Miftahussa'adah diadakan acara Malam Penutupan Paskil Ramadlan yang dihadiri oleh para Tokoh, diantaranya Sekretaris Umum PCNU Garut, Ir. Deni Ranggajaya dengan rangkaiann acara do'a bersama untuk kedamaian dan keamanan Negara Indonesia.











Rabu, 06 Juni 2018

Khutbah Idul Fitri : Memberi Tanpa Merendahkan

اللهُ اَكْبَرْ (9×) اللهُ أكبرْ كَِِِبيْرَا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرْ اللهُ أكبَرْ وَللهِ الحَمْدُ ، ألحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْاللهَ حَقَّ تُقََاتِهِ وَلاَ تَمْوْتَُّن إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَِ ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كْتَابِهِ الْكَرِيْمِ : وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia 
Pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan beraneka karunia kepada kita sekalian. Anugerah berupa kesehatan, keimanan dan keislaman. Sungguh ketiga hal ini inilah yang menjadikan kita mampu mensyukuri nikmat di pagi yang indah ini dengan penuh hikmat.

Tanpa ketiganya, takkan mungkin kita dapat berkumpul di sini, bertemu muka dalam suasana penuh kebahagiaan dan kekeluargaan untuk merayakan kemenangan. Sungguh kita telah memenangkan ujian dari Allah pada bulan Ramadhan kemarin. Sungguhpun jika kita menangisi kepergian Ramadhan, namun kita tetap patut bersyukur, karena Ramadhan telah mengajarkan kita untuk mengerti dan turut merasakan setitik kesengsaraan para fuqoro dan masakin.

Saudara-saudara, Ramadhan kemarin telah mengajarkan kita untuk berbagi kebahagiaan dan dengan orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita. Mereka yang untuk makan saja harus bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Sehingga kita benar-benar merasa pilu manakala kemarin mendengarkan berita-berita yang menyayat. Hanya karena ingin mendapatkan sumbangan yang nilainya tidak seberapa bagi orang-orang kaya, ternyata mereka harus mempertaruhkan nyawa.

Kenyataan ini tentu saja menuntut kita untuk mengoreksi kembali kepedulian kita. Sudahkah selama ini kita memiliki kepedulian terhadap mereka? Jika sudah, maka pertanyaan selanjutnya adalah, cukupkah kepedulian kita selama ini untuk membantu meringankan beban hidup mereka? Jika sudah cukup, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita dapat meringankan beban mereka dengan ikhlas? Sampai di sini, hanya diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Ramadhan kemarin benar-benar memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Jika kita mengaku beriman dengan sebenarnya, maka kita pasti akan mengaca pada diri kita sendiri, sudahkan kita memiliki kepedulian tanpa menyengsarakan?

Betapa pun, jika keikhlasan hanya dapat kita rasakan sendiri, maka sebuah sikap tentu dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita dapat memberikan sedekah dengan cara-cara yang ”elegan”? Apakah cara kita memberikan sedekah tidak mengurangi harga diri mereka? Apakah setelah menerima sedekah, mereka masih memiliki sisa harga diri di hadapan kita?

Jika jawabnya adalah tidak, maka mestinya kita instrospeksi diri, benarkah Allah memerintahkan kita untuk besedekah, berzakat atau menolong orang hanyalah untuk membuatnya kehilangan jati diri? Ramadhan kemarin benar-benar perenungan nyata.

Mungkin beberapa cuplikan ayat berikut ini dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
إنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا اْلفُقَرَاءُ فََهُوََ خَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kamu menampakkan sedekah, maka ini juga baik. Namun jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan adalah lebih baik bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2:271)

Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah tanpa membuat publikasi justru lebih baik daripada kita bersedekah dengan mengundang para wartawan. Meskipun seandainya sedekah yang kita berikan memang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.

Maka jika ramadhan kemarin kita benar-benar dapat menghayati makna puasa, tentu pada Idul Fitri sekarang ini dan pada hari-hari ke depan kita dapat memperbaiki sikap kita kepada orang lain. Kita dapat lebih menghargai para hamba Allah yang lain. Bukan karena misalnya kita lebih kaya, lalu kita berhak menghina orang lain. Bukan karena kita merasa lebih kuat, lalu kita dapat menindas orang lain. Dan seterusnya.

Hadirin Sekalian yang Berbahagia
Jika kita ingin kembali pada kesucian, maka kita semestinya mampu menjadikan momen- momen Ramadhan kemarin sebagai sebuah I’tibar atau pelajaran untuk menjalani kehidupan ke depan. Jika setelah Ramadhan kita dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik secara agama dibandingkan tahun lalu, maka inilah alamat keberkahan Ramadhan. Namun jika sebaliknya, setelah Ramadhan kita justru menjadi lebih buruk dibanding sebelum Ramadhan, maka berarti keberkahan Ramadhan tidak pernah menghampiri kita. 

Setelah Idul Fitri ini, kita harus mampu memberikan sedekah dan berbagi kepada orang lain tanpa mengurangkan harga diri yang kita beri. Karena demikianlah Ramadhan kemarin mengajarkan pada kita. Kita harus mampu memberi tanpa membuat harga diri orang lain jatuh.

Dahulu Nabiyullah Sulaiman, seorang raja yang kaya raya bahkan pernah kedatangan tamu yang ingin memberikan sedekah. Lebih tepatnya untuk saat ini adalah upeti atau mungkin suap. Karena si pemberi sedang memiliki kebutuhan dengan sang Nabi Sulaiman. Ini artinya sang pemberi sedekah berada dalam posisi yang lebih rendah sementara sang penerima sedekah berada dalam posisi yang lebih tinggi.

Namun demikian, sikap dan cara penyampaian dapat menjadikan sang penerima, yang semula lebih tinggi dapat mengalami penurunan derajat. Firman Allah tentang cerita Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Naml ayat 36.

فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانُ قََالَ أَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَا أتَنِ أللهُ خَيْرٌ مِمَّا أتَاكُمْ بَلْ أنْتُمْ لِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ
Ketika serombongan utusan yang disertai berbagai macam hadiah telah sampai kepada Nabi Sulaiman, maka Sulaiman berkata, ”Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”

Pertanyaan Nabi Sulaiman semacam ini tentu saja membuat kecut perasaan para utusan tersebut. Utusan dari negeri seberang ini tersadar, seolah mereka dibuat malu karena dianggap mencoba menghinakan sekelompok kaum yang diperintah oleh seorang raja kaya dan bijak dengan rasa syukur yang teramat tinggi di hadapan Allah.

Dengan demikian upaya peremehan kepada Nabi Sulaiman beserta seluruh rakyat negerinya oleh para pembesar dari negara lain pun gagal total.

Kisah ini, sungguh memberikan ilustrasi perenungan yang teramat dalam kepada kita. Betapa semestinya kita tidak mudah dihinakan oleh mereka yang datang dengan membawa segepok sedekah yang belum tentu bermanfaat secara produktif kepada kita. Dan betapa semestinya jika kita memberi sedekah, janganlah sampai merendahkan orang-orang yang akan menerima sedekah kita.

Karena yakinlah, bahwa sedekah kita sama sekali tidak berarti dibandingkan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah. Seberapa pun berbagi, tidaklah perlu berpamer-pamer, apatah lagi sampai merasa bangga di hadapan Allah. Karena di sinilah terdapat jebakan syetan kepada para hamba.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT
Karena itulah, pada kesempaytan yang berbahagia ini, mari kita bersama-sama menginstropeksi diri kita masing-masing. Semoga setiap kesalahan yang pernah kita lakukan pada bulan-bulan lalu dapat kita tinggalkan dan semoga segenap kebaikan yang kita tingkatkan pada bulan Ramadhan kemarin dapat kita pertahankan. Dengan demikian maka kita sedang menaiki tangga insan kamil, tangga menuju kesempurnaan kemanusiaan di hadapan Allah SWT.

Meski Ramadhan telah meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa mampu mengekang hawa nafsu yang membawa kita menuju kehinaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah :

وَمَا أُبَرِّئْ نَفْسِيْ إنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Aku tiada melepaskan Nafsuku, karena nafsu menyuruh pada keburukan. (QS. Yusuf : 53)

Jika nafsu dapat kita kendalikan, maka mestinya kita pun akan senantiasa menjadi manusia yang pemurah dan pemaaf. Sehingga kita dapat saling memaafkan di antara sesama anak manusia, di antara sesama umat Islam dan di antara sesama saudara dan tetangga. Karena demikianlah pesan penting dalam Idul Fitri, yakni saling memaafkan agak kehidupan manusia dapat kembali berjalan dengan normal dan penuh rasa kasih sayang di antara sesamanya.

Semoga dengan kita saling memaafkan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa kita sekalian, dosa-dosa yang terdahulu maupun dosa-dosa yang akan datang. Sehingga negeri ini dapat menjadi negeri dambaan yang senantiasa diberkahi Allah, kampung-kampung dan kota-kota dapat menjadi baldatun toyyobatun wa robbun ghofuur.Selamat Idul Fitri 1429 H.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
اللهُ اَكْبَرْ (9×) اللهُ أكبرْ كَِِِبيْرَا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرْ اللهُ أكبَرْ وَللهِ الحَمْدُ ، ألحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْاللهَ حَقَّ تُقََاتِهِ وَلاَ تَمْوْتَُّن إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَِ ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كْتَابِهِ الْكَرِيْمِ : وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia 
Pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan beraneka karunia kepada kita sekalian. Anugerah berupa kesehatan, keimanan dan keislaman. Sungguh ketiga hal ini inilah yang menjadikan kita mampu mensyukuri nikmat di pagi yang indah ini dengan penuh hikmat.

Tanpa ketiganya, takkan mungkin kita dapat berkumpul di sini, bertemu muka dalam suasana penuh kebahagiaan dan kekeluargaan untuk merayakan kemenangan. Sungguh kita telah memenangkan ujian dari Allah pada bulan Ramadhan kemarin. Sungguhpun jika kita menangisi kepergian Ramadhan, namun kita tetap patut bersyukur, karena Ramadhan telah mengajarkan kita untuk mengerti dan turut merasakan setitik kesengsaraan para fuqoro dan masakin.

Saudara-saudara, Ramadhan kemarin telah mengajarkan kita untuk berbagi kebahagiaan dan dengan orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita. Mereka yang untuk makan saja harus bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Sehingga kita benar-benar merasa pilu manakala kemarin mendengarkan berita-berita yang menyayat. Hanya karena ingin mendapatkan sumbangan yang nilainya tidak seberapa bagi orang-orang kaya, ternyata mereka harus mempertaruhkan nyawa.

Kenyataan ini tentu saja menuntut kita untuk mengoreksi kembali kepedulian kita. Sudahkah selama ini kita memiliki kepedulian terhadap mereka? Jika sudah, maka pertanyaan selanjutnya adalah, cukupkah kepedulian kita selama ini untuk membantu meringankan beban hidup mereka? Jika sudah cukup, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita dapat meringankan beban mereka dengan ikhlas? Sampai di sini, hanya diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Ramadhan kemarin benar-benar memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Jika kita mengaku beriman dengan sebenarnya, maka kita pasti akan mengaca pada diri kita sendiri, sudahkan kita memiliki kepedulian tanpa menyengsarakan?

Betapa pun, jika keikhlasan hanya dapat kita rasakan sendiri, maka sebuah sikap tentu dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita dapat memberikan sedekah dengan cara-cara yang ”elegan”? Apakah cara kita memberikan sedekah tidak mengurangi harga diri mereka? Apakah setelah menerima sedekah, mereka masih memiliki sisa harga diri di hadapan kita?

Jika jawabnya adalah tidak, maka mestinya kita instrospeksi diri, benarkah Allah memerintahkan kita untuk besedekah, berzakat atau menolong orang hanyalah untuk membuatnya kehilangan jati diri? Ramadhan kemarin benar-benar perenungan nyata.

Mungkin beberapa cuplikan ayat berikut ini dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
إنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا اْلفُقَرَاءُ فََهُوََ خَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kamu menampakkan sedekah, maka ini juga baik. Namun jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan adalah lebih baik bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2:271)

Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah tanpa membuat publikasi justru lebih baik daripada kita bersedekah dengan mengundang para wartawan. Meskipun seandainya sedekah yang kita berikan memang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.

Maka jika ramadhan kemarin kita benar-benar dapat menghayati makna puasa, tentu pada Idul Fitri sekarang ini dan pada hari-hari ke depan kita dapat memperbaiki sikap kita kepada orang lain. Kita dapat lebih menghargai para hamba Allah yang lain. Bukan karena misalnya kita lebih kaya, lalu kita berhak menghina orang lain. Bukan karena kita merasa lebih kuat, lalu kita dapat menindas orang lain. Dan seterusnya.

Hadirin Sekalian yang Berbahagia
Jika kita ingin kembali pada kesucian, maka kita semestinya mampu menjadikan momen- momen Ramadhan kemarin sebagai sebuah I’tibar atau pelajaran untuk menjalani kehidupan ke depan. Jika setelah Ramadhan kita dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik secara agama dibandingkan tahun lalu, maka inilah alamat keberkahan Ramadhan. Namun jika sebaliknya, setelah Ramadhan kita justru menjadi lebih buruk dibanding sebelum Ramadhan, maka berarti keberkahan Ramadhan tidak pernah menghampiri kita. 

Setelah Idul Fitri ini, kita harus mampu memberikan sedekah dan berbagi kepada orang lain tanpa mengurangkan harga diri yang kita beri. Karena demikianlah Ramadhan kemarin mengajarkan pada kita. Kita harus mampu memberi tanpa membuat harga diri orang lain jatuh.

Dahulu Nabiyullah Sulaiman, seorang raja yang kaya raya bahkan pernah kedatangan tamu yang ingin memberikan sedekah. Lebih tepatnya untuk saat ini adalah upeti atau mungkin suap. Karena si pemberi sedang memiliki kebutuhan dengan sang Nabi Sulaiman. Ini artinya sang pemberi sedekah berada dalam posisi yang lebih rendah sementara sang penerima sedekah berada dalam posisi yang lebih tinggi.

Namun demikian, sikap dan cara penyampaian dapat menjadikan sang penerima, yang semula lebih tinggi dapat mengalami penurunan derajat. Firman Allah tentang cerita Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Naml ayat 36.

فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانُ قََالَ أَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَا أتَنِ أللهُ خَيْرٌ مِمَّا أتَاكُمْ بَلْ أنْتُمْ لِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ
Ketika serombongan utusan yang disertai berbagai macam hadiah telah sampai kepada Nabi Sulaiman, maka Sulaiman berkata, ”Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”

Pertanyaan Nabi Sulaiman semacam ini tentu saja membuat kecut perasaan para utusan tersebut. Utusan dari negeri seberang ini tersadar, seolah mereka dibuat malu karena dianggap mencoba menghinakan sekelompok kaum yang diperintah oleh seorang raja kaya dan bijak dengan rasa syukur yang teramat tinggi di hadapan Allah.

Dengan demikian upaya peremehan kepada Nabi Sulaiman beserta seluruh rakyat negerinya oleh para pembesar dari negara lain pun gagal total.

Kisah ini, sungguh memberikan ilustrasi perenungan yang teramat dalam kepada kita. Betapa semestinya kita tidak mudah dihinakan oleh mereka yang datang dengan membawa segepok sedekah yang belum tentu bermanfaat secara produktif kepada kita. Dan betapa semestinya jika kita memberi sedekah, janganlah sampai merendahkan orang-orang yang akan menerima sedekah kita.

Karena yakinlah, bahwa sedekah kita sama sekali tidak berarti dibandingkan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah. Seberapa pun berbagi, tidaklah perlu berpamer-pamer, apatah lagi sampai merasa bangga di hadapan Allah. Karena di sinilah terdapat jebakan syetan kepada para hamba.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT
Karena itulah, pada kesempaytan yang berbahagia ini, mari kita bersama-sama menginstropeksi diri kita masing-masing. Semoga setiap kesalahan yang pernah kita lakukan pada bulan-bulan lalu dapat kita tinggalkan dan semoga segenap kebaikan yang kita tingkatkan pada bulan Ramadhan kemarin dapat kita pertahankan. Dengan demikian maka kita sedang menaiki tangga insan kamil, tangga menuju kesempurnaan kemanusiaan di hadapan Allah SWT.

Meski Ramadhan telah meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa mampu mengekang hawa nafsu yang membawa kita menuju kehinaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah :

وَمَا أُبَرِّئْ نَفْسِيْ إنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Aku tiada melepaskan Nafsuku, karena nafsu menyuruh pada keburukan. (QS. Yusuf : 53)
Jika nafsu dapat kita kendalikan, maka mestinya kita pun akan senantiasa menjadi manusia yang pemurah dan pemaaf. Sehingga kita dapat saling memaafkan di antara sesama anak manusia, di antara sesama umat Islam dan di antara sesama saudara dan tetangga. Karena demikianlah pesan penting dalam Idul Fitri, yakni saling memaafkan agak kehidupan manusia dapat kembali berjalan dengan normal dan penuh rasa kasih sayang di antara sesamanya.

Semoga dengan kita saling memaafkan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa kita sekalian, dosa-dosa yang terdahulu maupun dosa-dosa yang akan datang. Sehingga negeri ini dapat menjadi negeri dambaan yang senantiasa diberkahi Allah, kampung-kampung dan kota-kota dapat menjadi baldatun toyyobatun wa robbun ghofuur.Selamat Idul Fitri 1429 H.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
http://kutbah-nu.blogspot.com/2016/10/khutbah-idul-fitri-memberi-tanpa.html

Mencari Keberkahan Hidup

Khotbah I

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah

Berkah ini sering kita jadikan tujuan hidup di samping mencari ridho Allah. Keberkahan membuat hidup kita menjadi bahagia. Di pesantren, kita diajarkan yang penting mencari berkah, bukan sekadar kepintarannya. Kalau sekadar pintar saja tetapi tidak berkah maka ilmu tersebut bisa menjadi malapetaka.

Orang tua kita juga memberi pesan agar dalam hidup, yang kita cari adalah berkah. Dan berkah ini tidak selalu berkorelasi dengan banyaknya harta yang kita miliki. Ada sebuah hadits yang sering dijadikan doa, terutama kepada pengantin yang seringkali dijadikan sebuah kutipan dalam undangan pernikahan.

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا

Artinya: “Semoga Allah memberi berkah untukmu, memberi bekas atasmu, dan menghimpun yang terserak di antara kalian berdua.” (HR At-Turmudzi)

Dalam kajian ilmu Nahwu kalimat “laka”, itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya menguntungkan atau menyenangkan. Kalau yang tidak enak, menggunakan kata “alaika”. Ternyata, bahasa laka dan alaika digunakan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut supaya orang itu mendapat keberkahan baik dari hal yang enak maupun yang tidak enak. Semuanya ada nilai keberkahannya. Bagi sementara orang, keberkahan itu sesuatu yang enak secara fisik saja. Padahal bisa jadi, yang tidak enak itu lah yang sebenarnya menjadi berkah.

Misalnya, setelah menjadi seorang anggota DPR harus masuk penjara. Ini menunjukkan sesuatu yang tampaknya enak, berupa jabatan tinggi yang dihormati banyak orang, ternyata malah membawa bencana. Orang sakit juga bisa mendapat keberkahan karena dengan beristirahat, maka ia memiliki kesempatan untuk mengevaluasi dirinya, momen yang tai a peroleh lantaran kesibukan dirinya. Ini menunjukkan bahwa antara yang menguntungkan dan tidak menguntungkan, sama-sama mendapat peluang mendapat keberkahan.

Bertambahnya sesuatu juga belum tentu membawa kebaikan jika tidak mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang tambah umurnya belum tentu lebih berkah, orang yang tampak rezekinya juga belum tentu tambah berkah. Demikian pula, orang yang tambah ilmu juga belum tentu mendapatkan berkah jika ilmu tersebut hanya menjadi kebanggaan diri, bukan untuk diajarkan kepada orang lain atau untuk menambah keimanan kepada Allah.


مَنِ ازْدَادَ عِلمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلّا بُعْدًا

Artinya, Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk yang ia raih, niscaya dia hanya menambah jauh jarak dari Allah

Jadi ilmu tambah bukan berarti semakin dekat dengan Allah. Ini adalah cerminan dari ilmu yang tidak berkah.

Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah,

Berkah itu maknanya kebahagiaan. Orang berbahagia itu sering diukur hanya dari ukuran fisiknya. Benarkah demikian? Dalam pandangan agama, tanda-tanda kebahagiaan tidak selalu yang tampak secara dhahir. Karena tampilan lahiriah sejumlah orang bisa saja seolah bahagia, tapi batin mereka menderita.

ومِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS: al-Rum 21)


Sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah adalah Ia menciptakan istri-istri yang dapat menentramkan jiwa dan menciptakan kasih sayang antara keduanya. Kebahagian rumah tangga bukan terletak pada kecantikan istri atau kekayaan suami. Misalnya, apa iya kalau punya istri cantik terus berbahagia. Mungkin iya, tetapi mungkin saja tambah pusing. Belum tentu mendapat kebahagiaan. Betapa banyak pasangan cantik rupawan yang justru berakhir pada perceraian. Bahkan rata-rata penggugat dating dari perempuan. Ini bukti bahwa mereka tidak bahagia. Karena itu, hal yang bersifat dhahir menarik tidak menjamin rasa bahagia. Standar untuk menilai kebahagiaan keluarga tidak dilihat dari harta apa yang dimiliki, tetapi apakah suami istri tersebut memiliki akhlak yang baik. Jika mereka memiliki akhlak yang mulia, insyaallah mereka akan berbahagia.

Keberkahan bisa kita raih dengan senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wata’ala seraya terus menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, qana’ah, gemar bersedekah, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain-lain.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحًمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. 
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْياَءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.
عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.


Oleh Ustadz H Syamsul Maarif, Pengurus LDNU


http://kutbah-nu.blogspot.com/2016/03/khutbah-jumat-nu-mencari-keberkahan.html

AKHIR HIDUP YANG BAIK

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.



KHUTBAH PERTAMA

Ma’asyiRal Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!

Setelah kita mengucapkan kalimat tahmid, kalimat tahlil sebagai bentuk sanjungan dan pujian kita kepada Dzat satu-satunya tempat kita menggantungkan diRi daRi segala sesuatu, maka tiada kata dan ungkapan yang sepatutnya kita sampaikan dalam majelis yang mulia ini melainkan washiyatut taqwa, yaitu satu kalimat yang dengannya Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menyebutkannya dalam sekian banyak ayat, dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun seRingkali membeRikan washiyat kepada paRa shahabatnya dalam khutbah-khutbahnya dengan kalimat teRsebut, sebagaimana yang peRnah beliau sampaikan juga kepada dua ORang sahabat yang beRnama Abu DzaR dan Mu’ad bin Jabal dalam Riwayat at-TiRmidzi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beRsabda


اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“BeRtakwalah kepada Allah dimana saja kamu beRada, dan baRengilah peRbuatan yang buRuk dengan peRbuatan yang baik dan beRakhlak baiklah kepada semua manusia” (HR. at-TiRmudzi).

Hadits yang mulia ini, jelas-jelas telah membeRikan penjelasan kepada kita bahwa ketaqwaan itu tidak teRbatas pada waktu dan tempat teRtentu. Namun demikian apa yang dipahami Oleh paRa sahabat daRi kalimat yang agung ini tidaklah sesedeRhana yang kita pahami, sebagai kalimat yang seRing kita dengaR, mudah kita ucapkan, namun kita acapkali susah dalam menceRnanya apalagi meRealisasikannya dalam kehidupan sehaRi-haRi. KaRena pentingnya makna kalimat ini hadiRin yang mulia, UmaR bin Khathab Radhiayallahu 'anhu peRnah mengatakan dalam Riwayat yang shahih,


التَّقْوَى هُوَ اْلخَوْفُ بِاْلجَلِيلِ وَاْلعَمَلُ بِالتَّنْزِيلِ وَالرِّضَى بِالْقَلِيلِ وَاْلاِسْتِعْدَادِ بِيَوْمِ الرَّحِيلِ.

“At-Taqwa adalah peRasaan takut kepada Allah, beRamal dengan apa yang datang daRi Allah dan Nabi-Nya, meRasa cukup dengan apa yang ada dan mempeRsiapkan diRi dalam menghadapi haRi akhiR.”

Ma’asyiRal Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!

Sesungguhnya bagian manusia daRi dunia ini adalah umuRnya. Apabila dia membaguskan penanaman mOdalnya pada apa yang dapat membeRikan manfaat kepadanya di akhiRat kelak, maka peRdagangannya akan beRuntung. Dan jika dia menjelekkan penanaman mOdalnya dengan peRbuatan-peRbuatan maksiat dan kejahatan sampai dia beRtemu dengan Allah pada penghabisan (akhiR hidup) yang jelek itu, maka dia teRmasuk ORang-ORang yang meRugi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala beRfiRman,


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

"BaRangsiapa yang beRamal shalih, baik laki-laki maupun peRempuan dan dia (dalam keadaan) beRiman, maka sesungguhnya akan Kami beRikan kepadanya kehidupan yang baik. dan sesungguhnya akan Kami beRikan balasan kepada meReka dengan pahala yang lebih baik daRi apa yang telah meReka keRjakan " (Q.S an-Nahl:97).

Dalam ayat yang lain Allah Ta'ala beRfiRman,


فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شّرًّا يَرَهُ.

“BaRangsiapa yang mengeRjakan kebaikan sebeRat dzaRRahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan baRangsiapa yang mengeRjakan kejahatan sebeRat dzaRRahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah:7-8)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menegaskan,


أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَتُرْجَعُونَ . فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

“Maka apakah kamu mengiRa, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secaRa main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang SebenaRnya;tidak ada ilah (yang beRhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) 'ARsy yang mulia.” (QS. al-Mu’minun:115-116)

Ma’asyiRal Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!

KaRenanya ORang yang beRakal adalah ORang yang dapat menghisab (menghitung) amalan diRinya sebelum Allah Ta'ala menghitungnya, dan dia meRasa takut dengan dOsa-dOsanya itu menjadi sebab akan kehancuRannya.

HadiRin yang mulia sementaRa itu kematian dan akhiR hidup seseORang akan selalu menjemputnya, kapan Allah Ta'ala menghendaki niscaya tidak ada seORangpun yang dapat meRubahnya, dia tidak dapat menghindaRi daRi sebuah kenyataan yang akan menjemputnya. Allah
Ta'ala beRfiRman,


كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

"Tiap-tiap yang beRjiwa akan meRasakan mati. Dan sesungguhnya pada haRi kiamat sajalah disempuRnakan pahalamu. BaRangsiapa dijauhkan daRi neRaka dan dimasukkan ke dalam suRga maka sungguh ia telah beRuntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang mempeRdayakan.” (QS. Ali ImRan:185)

MaRilah kita tanyakan kepada diRi kita masing-masing, apa yang telah menjadikan diRi kita teRpedaya dengan gemeRlapnya kehidupan dunia, akankah akhiR hidup kita akhiR hidup yang baik atau bahkan sebaliknya? Na'udzubillahi min dzalik.

Ma’asyiRal Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!

Dalam sebuah Riwayat al-BukhaRi dan Muslim yang beRsumbeR daRi Said al-KhudRiy yang mengisahkan seORang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan ORang, kemudian genap seRatus ORang. Dan pada akhiR ceRita, dia dikisahkan meninggal dalam keadaan mukmin kaRena taubatnya. (HR. al-BukhaRi dan Muslim daRi Said al-KhudhRiy).

Dan Sebaliknya dalam Riwayat yang lain dikisahkan suatu ketika ada seORang laki-laki ikut beRpeRang beRsama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallamuntuk menghadapi kaum MusyRikin sehingga dia teRluka. Dan kaRena tidak kuasa menahan Rasa sakit, akhiRnya dia bunuh diRi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beRsabda, "Dia teRmasuk ahli neRaka". Setelah itu seseORang mendatangi nabi menceRitakan kejadian ini. Kemudian Rasullah beRsabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ اْلجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ (رواه البخاري ومسلم)

“Sungguh seORang benaR-benaR melakukan peRbuatan penduduk suRga di hadapan manusia, namun (sebenaRnya) dia teRmasuk penghuni neRaka, dan sungguh seseORang benaR-benaR melakukan peRbuatan penghuni neReka di hadapan manusia, namun (sebenaRnya) di a teRmasuk penghuni suRga .” (HR. al-BukhaRi dan Muslim).

Dua Riwayat di atas telah tegas dan jelas menunjukkan bahwa akhiR hidup seseORang, baik dan buRuknya tidak ada seORangpun yang dapat mengetahuinya.

Dan akhiR hidup seseORang ditentukan Oleh baik-dan buRuknya akhiR peRjalanan hidupnya, yang telah Allah Subhanahu wata’ala tentukan dalam taqdiRnya.

Dalam Riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih daRi 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah beRsabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ اْلجَنَّةِ وَهُوَ مَكْتُوبٌ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ، فَعَمِلَ أَهْلَ النَّارِ، فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ. وَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مَكْتُوبٌ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ، فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ، فَعَمِلَ أَهْلَ اْلجَنَّةِ، فَمَاتَ فَدَخَلَ اْلجَنَّةَ.

“Sesungguhnya seseORang benaR-benaR melakukan peRbuatan penghuni suRga, sedangkan dia dicatat sebagai penghuni neRaka. Maka sebelum kematian menjemput, ia beRubah dan mengeRjakan peRbuatan penghuni neRaka, kemudian ia mati, maka masuklah ia ke dalam neRaka. Dan sesungguhnya seseORang benaR-benaR melakukan peRbuatan penghuni neRaka sedangkan dia dicatat sebagai penghuni suRga. Maka sebelum kematian menjemput, ia beRubah dan melakukan peRbuatan penghuni suRga, kemudian ia mati, maka masuklah ia ke dalam suRga.”.

Dalam Riwayat lain yang beRsumbeR daRi Ali bin Abi Thalib, diceRitakan ada seORang laki-laki beRtanya kepadanya:

فقال رجل: يا رسول الله، أفلا نمكث على كتابنا وندع العمل؟ فقال : اعملوا فكل ميسر لما خلق له. أما أهل السعادة فييسرون لعمل أهل السعادة. وأما أهل الشقاوة فييسرون لعمل أهل الشقاوة، ثم قرأ : (فأما من أعطي واتقي ) سورة الليل: 5)

“SeseORang lelaki beRtanya, Wahai Rasulullah!, apakah kita tidak pasRah teRhadap taqdiR (ketentuan)Allah Ta'ala teRhadap kita dan meninggalkan amalan? Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “BeRamalah kalian! Maka setiap ORang akan dimudahkan sebagaimana apa yang ditakdiRkan baginya.” Adapun ORang yang ditakdiRkan bahagia, maka ia akan dimudahkan untuk melakukan peRbuatan gOlOngan ORang-ORang yang bahagia. Sedangkan ORang yang ditakdiRkan sengsaRa, maka ia pun akan dimudahkan untuk melakukan peRbuatan gOlOngan ORang-ORang yang sengsaRa. Kemudian beliau membaca ayat, “Adapun ORang yang membeRikan (haRtanya di jalan Allah) dan beRtaqwa, (QS. al-Lail : 5)

Dalam hadits-hadits di atas telah menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kesengsaRaan di akhiR hayat telah Allah Ta'ala tentukan di dalam kitabNya (taqdiRnya). Dan yang demikian beRdasaRkan amalnya yang meRupakan sebab keduanya. Maka akhiR hidup yang baik atau sebaliknya ditentukan dengan keadaan akhiR amalannya.
sebagaimana Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam beRsabda dalam Riwayat yang lain daRi Sahl bin Said:

إنما الأعمال بالخواتيم.

“Sesungguhnya segala amal itu teRgantung dengan akhiRnya.”

Maka baRangsiapa yang yang telah mengikuti tuntunan Allah Ta'ala dan NabiNya, maka akhiR hayatnya adalah meRupakan akhiR hayat yang baik, sebaliknya baRangsiapa dalam hidupnya senantiasa mengikuti hawa nafsu dan syaithan, maka niscaya dia akan mendapatkan akhiR hidup yang tidak baik, kaRena dOsa-dOsa yang dia lakukan selama hidupnya, sebagaimana peRnah dikisahkan Oleh Abdul Aziz bin Rawad yang dinukil Oleh Ibnu Rajab dalam kitabnya, suatu haRi dia menjumpai seORang yang akan meninggal dunia, kemudian ditalqinkan untuk mengucapkan kalimat Tauhid, namun teRnyata dia tidak bisa mengucapkan, dan dia beRkata pada akhiR peRkataannya: Dia telah mengkufuRi kalimat teRsebut. Dan meninggal dalam kekufuRan. Kemudian Abdul Azis menanyakan tentang dia, maka dikatakan dia adalah seORang peminum khamR. Kemudian Abdul Aziz mengatakan:

اتقوا الذنوب فإنها هي التى أوقعته

“BeRhati-hatilah kalian teRhadap segala (bentuk) dOsa dan maksiat, kaRena dOsa-dOsa itulah yang menyebabkannya.”

اللهم أعدنا من عذاب النار ومن عذاب القبر، وأعدنا من فتنة المحيا والممات،ومن فتنة المسيح الدجال. اللهم ارحمنا عند
سكرات الموت، ووسع لنا في قبورنا, وثبتنا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الأخرة.وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون، إنه هو الغفور الرحيم.
وْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ


http://darminksdankumpulankhutbah.blogspot.com/2012/06/akhir-hidup-yang-baik.html

DELAPAN WASIAT ROSULULLAH

ان الحمد لله الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله. أرسله بشيرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا.

أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. شهادة اعدها للقائه ذخرأ. واشهد ان محمدا عبده و رسوله. ارفع البرية قدرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد. فياأيها الناس اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وأنتم مسلمون.

Ma’asyiral Musilimin Rahimakumullah
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Indah yang ke-indahannya tak pernah menyusut walau dibagi kepada seluruh warga jagad raya. Keindahan inilah yang membuat manusia betah berada di dunia dan enggan meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa diberi kesadaran bahwa keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya sebagai orientasi dan tujuan dalam hidup ini اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همي ولا مبلغ علمي
Hadirin Jamaa’ah Jum’ah yang dirahmati AllahPotongan do’a di atas nampaknya sangat relevan dalam kehidupan kita sekarang ini. Do’a pengharapan kepada-Nya agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita, supaya tidak menjadikan dunia se-isinya sebagai cita-cita dalam kehidupan dan orientasi dalam ilmu pengetahuan. Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan menuju kepada-Nya, bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini menunjukkan arah yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya Baru di sekitar kita. Manusia-manusia luar biasa yang dengan bersusah payah dan penuh perjuangan, sampai pada taraf hidup yang menakjubkan. Mereka telah meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat kehidupan dengan penuh kemewahan.
Tidak, khutbah ini tidak untuk membincang mereka atau menyirami penyakit hasud dalam hati, sehingga menjadi lebih subur. Namun, hendak mengingatkan bagaimanakah sebaiknya kita menyikapi perubahan itu. Karena dunia dan seisinya adalah cobaan bagi manusia.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah 
Di suatu waktu Rasulullah saw. berbincang dengan hangat bersama Abu Dzar al-Ghifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi S.a.w, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan." 
Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya. Seperti firman-Nya:  إن أكرمكم عند الله اتقاكم 
Namun taqwa itu bagaikan konsep teoritis yang harus diterjemahkan biar mudah untuk diraih. Bagi kaum awam, taqwa itu cukup sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada Allah swt? Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan duniawi? Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini, dan Abu Dzarpun tidak menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara yang jelas. Namun marilah kita ikuti percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah "Ya Rasulallah, tambahkanlah wasiat apalagi yang penting setelah taqwa.".
Rasulullah saw menjawab "Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu dibumi dan simpananmu dilangit." 

Ingatlah kita pada do’a khatmil Qur’an yang sangat masyhur
اللَّهُمَّ ارْحَمْنَا بِالْقُرْآنِ, وَاجْعَلْهُ لَنَا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً, اللَّهُمَّ ذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نَسِيْنَا, وَعَلِّمْنَا مِنْهُ مَا جَهِلْنَا, وَارْزُقْنَا تِلاَوَتَهُ آنَآءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ, وَاجْعَلْهُ لَنَا حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk menerangi perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan yang dapat mengamankan kehidupan di akhirat nanti.

Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad saw. iapun berkata meminta "Ya Rasulullah, tambahkanlah.".
Rasulullah menjawab "Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah." 

Tertawa adalah hal yang kelihatan sangat sepele, tetapi Rasulullah saw melihat itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak psikologis dalam jiwa manusia. Karena kebanyakan manusia ketika tertawa akan melupakan segala kewajiban sebagai seorang hamba. Hal ini berbeda dengan model tertawa Rasulullah saw seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya sekedar senyum." (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi)

Kalau demikian, apa maksud stasiun televise berbondong-bondong menghadirkan acara humor, lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya sekedar relaksasi dari kejenuhan hidup ini? Entahlah, yang Jelas Rasulullah telah berwasiat demikian. Saya rasa kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad saw, jauh mengatasi dari pada berbagai produser acara di televise.

Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun melanjutkan pertanyaanya kembali "lalu apa lagi ya Rasulullah.?" 
Rasulullah saw pun menjawab "Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku." 

Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu kepahlawanan? Inilah yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat padu dengan apa yang pernah disabdakan oleh  Rasulullah saw bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu "Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta "Lagi ya Rasulullah?" 
rasulpun menjawab "Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka." 

jikalau keempat hal yang telah lalu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini mencintai dan menggauli orang miskin membuktikan adanya unsure sosialis yang tinggi dalam ajaran Rasulullah saw. mencintai dan bergaul dengan orang miskin merupakan manifestasi dari kemanusiaan seorang manusia. Dari berbagai ayat dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjukkan bahwa hubungan itu selalu dihiasi dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ 36. 

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan teman sejawat, ibnu sabil {295} dan hamba sahayamu.

Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata "Tambahilah lagi."
Rasulullah saw menjawab "Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya." 

Qulil haqqa walau kana murran,  قل الحق ولو كان مرا  karena memang kebenaran bagi sebagian keadaan  adalah kepahitan itu sendiri. Inilah yang sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, seolah kebenaran enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun karena keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan bersamaan.  

Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, “tambahlah lagi untukku!."
Rasulullah pun menjawab "Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)." 
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya." 
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah S.a.w kepada salah seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan wasiat beliau.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ

http://darminksdankumpulankhutbah.blogspot.com/2012/06/delapan-wasiat-rosulullah.html